Ada yang Lebih Ngeri dari Efek Suku Bunga AS, Berani Baca?

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
24 October 2023 09:15
Gubernur Federal Reserve Jerome Powell
Foto: REUTERS/Aaron P. Bernstein

Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonom senior yang juga mantan menteri keuangan Chatib Basri mengungkapkan dua momok yang menjadi kekhawatiran pengambil kebijakan di Tanah Air. Kedua momok ini lebih mengkhawatirkan daripada sikap hawkish Federal Reserve (The Fed).

Pertama, tren kenaikan imbal hasil bunga surat utang pemerintah Amerika Serikat jangka panjang yang mulai naik.

"Kenaikan dari bond yield ini justru terjadi karena persepsi di pasar bahwa risiko dari resesi di Amerika itu mengalami penurunan. Justru ekonomi Amerika itu strong. Karena ekonomi Amerika itu strong maka mereka kemudian mulai melakukan konsolidasi balance sheet," kata Chatib kepada CNBC Indonesia, dikutip Selasa (24/10/2023).

Kenaikan imbal hasil US Treasury tenor panjang, bersaing dengan tenor jangka pendek, membuat aliran modal dari negara-negara berkembang terus masuk ke Amerika Serikat (AS).

Kondisi ini diperburuk dengan potensi inflasi yang akan terus naik ke depan karena dampak baru perang di Timur Tengah antara Hamas dan Israel yang membuat harga minyak atau komoditas energi naik.

Oleh sebab itu, gejolak terhadap nilai tukar rupiah saat ini menurutnya begitu besar, hingga Bank Indonesia harus mengambil kebijakan kenaikan suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) menjadi di level 6% dari delapan bulan sebelumnya bertahan di level 5,75%. Alasannya tak lain, demi mencegah selisih suku bunga tak terlalu tipis dengan AS, hingga aliran modal tak terus keluar.

Kedua, dampak berkepanjangannya fenomena El Nino, atau kekeringan dan panas ekstrem yang melanda banyak negara termasuk Indonesia.

Persoalan ini mempengaruhi pasokan komoditas pangan semakin sulit diperoleh karena produksi komoditas pangan utama seperti beras juga sulit diperoleh. Maka, ketika nilai tukar rupiah terus melemah dan pasokan beras harus dipenuhi dengan impor akan membuat tekanan pada neraca perdagangan maupun transaksi berjalan di tengah tingginya harga komoditas minyak mentah.

"Jadi komplikasinya agak banyak soal ini, kenapa? karena ini kejadian juga bersamaan juga dengan El Nino, di mana harga berasnya naik tuh dan berapa negara mulai membatasi ekspor. Jadi itu penting sekali untuk secure mengenai berasnya. Kalau rupiahnya melemah, di impor beras harganya juga mahal kan," kata Chatib.

Senada, Kepala Ekonom Permata Bank Josua Pardede menekankan, berbaliknya arah kebijakan BI di tengah terkendalinya inflasi tersebut memang disebabkan munculnya fenomena term premia, akibat kebutuhan utang AS yang tinggi dan membuat aliran modal asing berbondong-bondong ke AS.

"Kenaikan yield obligasi global tidak hanya terjadi pada obligasi jangka pendek, namun saat ini yield obligasi jangka panjang juga mengalami kenaikan atau Treasury Term Premia, karena utang pemerintah di negara maju cenderung meningkat," ucap Josua.

"Arus modal ke negara berkembang juga terhambat dan dana cenderung berpindah ke negara maju (cash is the king)," tegasnya.

Kondisi ini pun memengaruhi kinerja perbankan. Pertumbuhan dana pihak ketiga (DPK) melambat menjadi 6,54% secara tahunan per September 2023 dari bulan sebelumnya 6,62% yoy. Lalu penyaluran kredit hanya tumbuh 8,96% dari sebelumnya 9,04%.

"Non-performing loan per Agustus 2023 tercatat sebesar 2,50% (gross) dan 0,79% (net). BI masih memproyeksikan pertumbuhan kredit di tahun 2023 akan berada di kisaran 9-11%," tegas Josua.

Sementara itu, terkait dengan El Nino, Josua pernah mengungkapkan bahwa dampak El Nino itu belum dirasakan pada tahun ini. Sampai Agustus kemarin, kata dia, inflasi akibat harga bahan makanan relatif masih terkendali. Dia memprediksi inflasi kemungkinan bisa di bawah 3% sampai akhir tahun.

Josua menilai, berdasarkan kajian yang dia lakukan, puncak El Nino justru baru dirasakan pada masa 6 sampai 9 bulan setelah puncak El Nino terjadi. Artinya, dampak El Nino yang terjadi akhir tahun ini, kemungkinan akan berdampak pada inflasi yang terjadi di pertengah tahun 2024.

"Di sini ada lag time untuk penyesuaian waktu puncak El Nino kepada inflasi pangan itu sendiri," tegas Josua.


(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Airlangga Beberkan 'Ancaman Utama' Pertumbuhan Ekonomi 5%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular