Serangan Hamas Guncang Rencana Normalisasi Israel-Saudi
Jakarta, CNBC Indonesia - Serangan kelompok Hamas Palestina terhadap Israel mengubah landskap geopolitik di Timur Tengah.
Dalam sebuah ulasannya di The Guardian, wartawan senior Patrick Wintour menjelaskan bahwa serangan Hamas ini merupakan kemarahan kelompok itu, khususnya atas perilaku koalisi Pemerintahan Perdana Menteri (PM) Israel Benjamin Netanyahu selama berbulan-bulan. Salah satunya adalah provokasi di Masjid Al Aqsa.
Menurutnya, kemarahan ini kemudian dimanfaatkan oleh rival nomor satu Israel di kawasan, Iran. Teheran dan kekuatan yang didukungnya memiliki tujuan strategis jangka panjang, yakni untuk menggagalkan normalisasi hubungan Israel dan Arab Saudi yang diprakarsai Amerika Serikat (AS).
Dalam pidatonya awal pekan ini, pemimpin tertinggi Iran, Ayatollah Ali Khamenei, mengirimkan peringatan tipis ke Riyadh bahwa negara Teluk manapun yang mendukung AS berada dalam jalur yang salah. Diketahui, negara Teluk seperti Bahrain dan Uni Emirat Arab (UEA) telah menjalin hubungan diplomatik dengan Tel Aviv.
"Seperti yang dikatakan orang-orang Eropa, mereka bertaruh pada 'kuda' yang kalah. Saat ini, situasi rezim Zionis bukanlah situasi yang seharusnya memotivasi kedekatan dengan rezim Zionis; mereka seharusnya tidak melakukan kesalahan ini," kata Khamenei seperti dikutip Wintour.
"Mereka yang terburu-buru menuju normalisasi dengan proyek Zionis harus tahu, dan mereka tahu, bahwa ini adalah pengakuan mereka bahwa Palestina bukan milik kita, dan bahwa Yerusalem dengan masjidnya bukan milik kita."
Arab Saudi, yang perekonomiannya diperkirakan akan menyusut tahun ini karena pengurangan produksi minyak, sangat membutuhkan investasi asing dan sangat membutuhkan dinamisme teknologi Israel. Niatan Riyadh ini terjadi setelah perdagangan UEA dan Negeri Yahudi itu meningkat dua kali lipat menjadi US$ 2,56 miliar (Rp 40 triliun) pada tahun 2022.
"Kini, dengan dimulainya perang regional, perhitungan risiko telah berubah. Hamas telah menunjukkan daya tembaknya dan memperluas basisnya di luar Gaza. Konflik tidak menyusut, namun justru meluas," ujar Wintour.
Tanggapan awal Riyadh terhadap serangan Hamas adalah petunjuk penting pertama tentang bagaimana negara pimpinan Raja Salman itu memandang konsekuensi diplomatik. Hal ini tidak memberi semangat bagi Israel, dan mengingat gairah perang yang membara, hal ini juga tidak mampu dilakukan.
Kementerian Luar Negeri Arab Saudi mencatat situasi ini sebagai sesuatu yang mengkhawatirkan seraya menyerukan agar semua pihak menahan diri. Namun tak lama, Saudi mengeluarkan pernyataan yang berbunyi bahwa konflik ini disebabkan penjajahan Israel.
"Kami mengingatkan bahaya ledakan situasi sebagai akibat dari pendudukan yang terus berlanjut, perampasan hak-hak sah rakyat Palestina dan pengulangan provokasi sistematis terhadap tempat-tempat suci," jelas Riyadh.
Qatar bahkan mengeluarkan pernyataan yang lebih tegas. Doha mengatakan bahwa Israel "sepenuhnya bertanggung jawab atas eskalasi yang sedang berlangsung karena pelanggaran terus-menerus terhadap hak-hak rakyat Palestina, termasuk serangan berulang kali ke Masjid Al Aqsa di bawah perlindungan polisi Israel".
Sejak itu, Menteri Luar Negeri Saudi Faisal bin Farhan Al-Saud berbicara dengan Menlu AS Anthony Blinken, perwakilan tinggi Uni Eropa (UE), Josep Borrell, dan seluruh mitranya di Teluk. Hasil dari perundingan tersebut akan terlihat ketika dewan keamanan PBB bertemu dalam sesi darurat.
"Pekerjaan diplomasi sesungguhnya akan dilakukan secara pribadi. Dalam jangka pendek, Turki dan Mesir akan bertindak sebagai mediator."
(luc/luc)