Internasional

Perang Baru Ini Terancam Pecah di Eropa, Bukan Rusia-Ukraina

sef, CNBC Indonesia
06 October 2023 11:00
Pengunjuk rasa Serbia terlibat bentrok dengan tentara NATO Kosovo Force (KFOR) di kota Zvecan, Kosovo, Senin (29/5/2023). (REUTERS/Laura Hasani)
Foto: Pengunjuk rasa Serbia terlibat bentrok dengan tentara NATO Kosovo Force (KFOR) di kota Zvecan, Kosovo, Senin (29/5/2023). (REUTERS/Laura Hasani)

Jakarta, CNBC Indonesia - Perang baru terancam pecah di Eropa. Ini bukan Rusia-Ukraina melainkan konflik yang terus meningkat antara Serbia dan Kosovo.

Para analis telah mengatakan kekhawatiran mereka tentang hubungan kedua negara yang terus memanas, pasca konflik brutal dan kompleks di 1990-an. Kekerasan terbaru terjadi September di Kosovo, di mana Serbia menanggapinya dengan membangun kekuatan militer di perbatasannya dengan tetangganya tersebut.

"Saat ini terdapat kekhawatiran bahwa gejolak di kawasan tenggara Eropa ini dapat berujung pada konflik bersenjata sementara dunia sedang terganggu oleh perang di Ukraina," tulis CNBC International mengutip peneliti kebijakan senior di Dewan Hubungan Luar Negeri Eropa (ECFR), Engjellushe Morina dan Majda Ruge, Jumat.

"Menyelesaikan perselisihan antara Kosovo dan Serbia bukan lagi hanya masalah politik, tetapi masalah keamanan yang serius bagi kawasan dan Eropa," tambahnya.

Menurutnya, AS dan Uni Eropa tak punya pilihan. Pilihan bukan lagi dialog yang gagal atau berhasil tapi stabilisas dan eskalasi kekerasan lebih lanjut di beau itu.

Bagaimana Kekerasan Muncul?

Sebenarnya Kosovo utara-lah yang menjadi titik panas permusuhan. Wilayah yang berbatasan langsung dengan Serbia itu, memiliki mayoritas etnis Serbia sebagai penduduknya.

Ini berbeda dari sebagian wilayah lain Kosovo, yang dihuni 93% etnis Albania. Di sisi lain, Serbia pun tak mengakui tetangganya itu sebagai negara merdeka.

Titik kritis terbaru adalah pemilu lokal pada musim semi lalu. Di mana etnis Albania terpilih menjadi anggota sejumlah kota di Kosovo utara.

Hasil pemilu ini menimbulkan kemarahan di kalangan komunitas etnis Serbia di wilayah tersebut yang memboikot pemilu. Mereka kemudian mengatakan bahwa tuntutan mereka untuk otonomi lebih besar tidak dipenuhi.

Ketegangan semakin meningkat selama musim panas dan meletus pada akhir September menyusul baku tembak antara kelompok etnis Serbia yang bersenjata lengkap dan pasukan polisi khusus Kosovo di desa Banjska di Kosovo utara. Ini menewaskan satu petugas polisi dan tiga pria bersenjata.

NATO

NATO sebenarnya menjalankan misi penjaga perdamaian di Kosovo sejak tahun 1999. Ini menyusul konflik berdarah antara etnis Albania yang menentang etnis Serbia dan pemerintah Yugoslavia pada tahun 1998.

Aliansi militer ini pun bereaksi terhadap insiden bulan September. NATO mengerahkan pasukan penjaga perdamaian tambahan ke wilayah tersebut sementara Serbia memperkuat misinya tengan menambah kehadiran militer di sepanjang perbatasannya dengan Kosovo.

Tindakan ini kemudian memicu kekhawatiran di kalangan pejabat AS dan Eropa yang menyatakan keprihatinan mendalam atas kekerasan dan penambahan kekuatan militer yang "belum pernah terjadi sebelumnya" di sana. Serbia sendiri membantah peningkatan mobilisasi militer di dekat perbatasan Kosovo dan mengatakan pihaknya tidak berniat melakukan invasi.

Awal pekan ini, sebenarnya para pejabat senior militer Serbia mengatakan jumlah tentara di sepanjang perbatasan telah dikurangi setengahnya menjadi sekitar 4.500. Mereka mengakui bahwa telah meningkatkan kehadiran militer hingga dua kali lipat jumlah tersebut setelah kekerasan di Banjska.

Dalam wawancara terbaru dengen Financial Times, Presiden Serbia Aleksandar Vučić juga berusaha meyakinkan negara-negara Barat, bahwa ia tidak berniat memerintahkan pasukan militer untuk melintasi perbatasan ke Kosovo. Menurutnya hal itu akan menjadikan kontraproduktif bagi aspirasi Beograd untuk bergabung dengan UE.

"Mengapa hal ini bermanfaat bagi Beograd?" kata Vučić. "

"Apa idenya? Untuk menghancurkan posisi yang telah kita bangun selama setahun? Untuk menghancurkan ini dalam sehari? Serbia tidak menginginkan perang," tegasnya.

Meskipun begitu, analis menulis situasi di kawasan ini bagaikan sebuah kotak api yang mudah terbakar. Ada potensi untuk berkobar jika ada percikan api sekecil apa pun.

"Dari nol perang darat di Eropa, kita mungkin akan melihat dua perang dalam waktu dekat," kata pendiri Eurasia Group, dalam sebuah catatan pada hari Senin, Ian Bremmer.

Dia menyamakan ketegangan tersebut dengan konflik yang sangat cepat baru-baru ini antara Armenia dan Azerbaijan. Perang mencapai puncaknya pada bulan lalu ketika militer Azerbaijan merebut wilayah Nagorno-Karabakh yang disengketakan dalam serangan cepat dengan sedikit intervensi dari luar.

"Anda mempunyai status quo yang sudah lama membara dan tidak berkelanjutan, yang ditantang oleh militer yang dominan, dan ingin melihat apakah ada orang lain yang cukup peduli untuk melakukan intervensi," kata Bremmer.

"Dalam hal ini, NATO, tidak terlalu terganggu dibandingkan Rusia, dan lebih mungkin melakukan intervensi langsung, namun prospek invasi telah meningkat dalam beberapa hari terakhir," jelasnya.

Konflik yang Berabad-Abad

Mengutip VOA, sebenarnya konflik Kosovo sudah berlangsung selama berabad-abad. Perlu diketahui, Serbia menganggap Kosovo sebagai pusat agama dan kenegaraan.

Dilaporkan bagaimana sejumlah biara Kristen Ortodoks Serbia dari abad pertengahan berada di Kosovo. Para nasionalis Serbia bahkan merujuk perang melawan Turki Ottoman pada 1389 sebagai bagian dari perjuangan untuk mencapai kemerdekaan.

Etnis Albania di Kosovo sendiri kebanyakan beragama Islam. Mereka menyebut Serbia telah menduduki wilayahnya dan menekan warga selama berabad-abad.

Pada tahun 1998, pemberontak Albania meluncurkan perlawanan ke Serbia, Belgrade sendiri melawan dengan brutal yang akhirnya membuat NATO mengintervensi.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Eropa Panas! NATO Kerahkan 20.000 Militer, Inggris Warning Putin

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular