
Polusi Jakarta dan Emisi Kendaraan Bermotor, Segenting Apa?

Jakarta, CNBC Indonesia - Polusi Jakarta dan sekitarnya membuat kualitas udara semakin memburuk dan terus menghantui warganya. Apalagi, di tengah musim kemarau ini, asap polusi dan cuaca panas mengakibatkan dampak negatif pada kesehatan.
Banyak dilaporkan masyarakat yang terkena masalah ISPA, flu, batuk, pilek, dan gejala lainnya. Pencarian sumber polusi kota Metropolitan pun digencarkan, agar bisa diselesaikan dengan baik.
Sektor industri seringkali dikampanyekan sebagai penyebab tercemarnya polusi udara di Jabodetabek seperti pabrik peleburan logam, semen, hingga kertas yang ada di Jabodetabek. Namun benarkah demikian?
Berdasarkan riset Vital Strategies dan Institut Teknologi Bandung, kendaraan bermotor menjadi penyebab utama, sementara industri bukan menjadi 'dalang' utama dari polusi di Ibu Kota dan sekitarnya.
Berdasarkan pemantauan polusi udara di tiga lokasi di Jakarta saat musim kemarau periode Juli-September 2019 menunjukkan, asap kendaraan bermotor menjadi sumber utama polusi , dengan Partikulat (PM) 2,5, mencapai 42-57%.
Setelah asap kendaraan ini, polusi PM 2,5 di Jakarta disumbang oleh PLTU batubara, pembakaran terbuka, kegiatan konstruksi, hingga debu jalan.
Sementara itu, Pengamat Kebijakan Publik Trisakti, Trubus Rahadiansyah mengatakan gas buang kendaraan menjadi penyebab yang lebih besar kerimbang asap industri.
"Polusi ini kan sumbernya dari aktivitas warga atau masyarakat, khususnya yang berkaitan dengan kendaraan, asap dari kendaraan dan dari industri," ujar Trubus saat dihubungi CNBC Indonesia, belum lama ini.
"Gas buang kendaraan lebih besar (penyebab atas polusi) daripada asap (industri) itu," sambungnya.
Bahkan, karena terlalu besarnya asap kendaraan yang menyebabkan polusi, dia menuturkan bahwa kebijakan Uji Emisi Gas Buang Kendaraan Bermotor harus perlu terus didorong. Perihal anggapan kebijakan ini membebani masyarakat, menurutnya hanya tinggal penyesuaian saja.
Penyesuaian ini meliputi pemetaan bantuan dan penggratisan uji emisi bagi mereka yang kurang mampu. Sedangkan mereka yang mampu tetap membayar dan diperketat peraturannya.
Adapun untuk mengurangi polusi, dia menyarankan agar masyarakat mengurangi aktivitas yang berkaitan dengan polusi, khususnya menggunakan transportasi umum hingga kendaraan listrik, tinggal pemerintah terus mendorong agar ekosistem kendaraan listrik lebih cepat diadakan.
"Kaau masyarakat, yang penting mulai dengan aktivitas yang berkaitan mengurangi dengan polusi. Mobilitas, disarankan pakai transportasi umum. Jadi mungkin tadi diperketat aja kalau menyelesaikan polusi lebih cepat agar masyarakat menggunakan mobil listrik dalam aktivitas sehari-hari," jelasnya.
Hal senada juga diutarakan oleh Pengamat Ekonomi Energi Universitas Gadjah Mada, Fahmy Radhi. Menurutnya, persentase terbesar penyebab polusi ini tidak lain tidak bukan adalah emisi kendaraan bermotor.
Hal ini pun dikatakannya sejalan dengan pernyataan Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (LHK) yang menyampaikan bahwa kendaraan bermotor menjadi penyebab utama kasus pencemaran udara di wilayah Jakarta.
Sebagai solusi mengurangi polusi, Fahmi mengusulkan untuk mendorong terus uji emisi kendaraan bermotor. Kemudian, dia juga sempat mengusulkan pengurangan kendaraan bermotor di jalan raya melalui kebijakan ganjil genap yang lebih lama hingga 24 jam. Hal itu menurutnya bisa mengurangi separuh jumlah kendaraan di jalanan.
"Dalam saat bersamaan, pemerintah daerah bisa mengusahakan penambahan angkutan umum yang berbasis listrik, itu relatif lebih mudah pengadaan bus listrik daripada harus migrasi ke mobil listrik untuk waktu yg masih jangka panjang," terangnya.
Secara terpisah, Pengamat Transportasi Djoko Setijowarno mengatakan pencemaran udara di Jakarta biasanya meningkat saat kemarau pada Juni-Agustus 2023. Sumber polutan terbesar dari sektor transportasi sebesar 44%. Untuk itu, isu transportasi berkelanjutan dinilai sangat penting namun belum dilakukan serius.
Berdasarkan data Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada 2022, ada sekitar 25,5 juta kendaraan bermotor yang terdaftar beroperasi di DKI Jakarta. Sebanyak 78% dari jumlah tersebut adalah sepeda motor.
Sepeda motor pun menghasilkan beban beban pencemaran per penumpang paling tinggi dibandingkan mobil pribadi bensin dan solar, mobil penumpang, serta, bus.
"Efisiensi kendaraan sangat penting. Jadi, kalau naik bus, kontribusi pada CO2 akan lebih kecil dibandingkan sepeda motor dan mobil pribadi," kata Djoko.
Pembenahan transportasi menurutnya bukan hanya dibutuhkan oleh DKI Jakarta, melainkan daerah penyangganya. Dia menyebutkan hampir seluruh kawasan perumahan Jabodetabek tidak memiliki akses angkutan umum.
Dia mengakui membenahi angkutan umum, hasilnya belum langsung terlihat dan membutuhkan waktu. Namun pembenahan tetap harus dilakukan karena berdampak jangka panjang.
"Kata kuncinya transportasi publik," kata dia.
(bul/bul)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Parah! Hari Ini Udara Jakarta Terburuk di Dunia Versi IQAir
