Internasional

"Resesi Seks" Guncang Singapura, Tak Punya Anak Disebut Tepat

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
18 September 2023 12:00
Patung Merlion, objek wisata populer di Singapura. (AP/Annabelle Liang)
Foto: Singapura. (AP/Annabelle Liang)

Jakarta, CNBC Indonesia - "Resesi seks", mengarah pada tingkat kelahiran rendah di suatu negara, makin parah mengguncang Singapura.  Bahkan pemerintah dianggap buang-buang uang kala bertindak untuk menyelesaikan masalah ini.

Bagaimana ceritanya?

Sebagaimana dimuat CNBC International, angka kelahiran di Singapura mencapai rekor terendah di 2022, setelah bertahun-tahun mengalami penurunan. Kelahiran hidup tahun lalu anjlok sebesar 7,9% seiring biaya hidup di Singapura yang mahal, yang menjauhkan banyak orang dari menambah anggota keluarga mereka.

Tren kesuburan pun diyakini bakal terus turun. Data dari lembaga think tank Institute of Policy Studies yang berbasis di negara itu juga menunjukkan bahwa perempuan berusia antara 20 dan 24 tahun di Singapura kini memiliki kemungkinan lebih kecil untuk melahirkan dibandingkan perempuan berusia antara 35 hingga 39 tahun.

"Memiliki anak terikat pada banyak hal, mulai dari keterjangkauan rumah, pasangan, dan kematangan pasar kerja yang membuat Anda merasa cukup aman untuk melakukannya," kata direktur pelaksana Ranstad Asia-Pasifik, Jaya Dass, memberi komentar, dikutip Senin (18/9/2023).

"Daya tarik ingin memiliki anak sebenarnya berkurang secara signifikan karena kehidupan telah semakin matang dan berubah," tambah Dass lagi mengomentari laporan.

Singapura sendiri memang kini bergulat dengan populasi menua. Pemerintah memang mendorong kelahiran dengan memberikan insentif dan "bonus".

Pasangan yang memiliki bayi yang lahir pada tanggal 14 Februari akan menerima masing-masing S$11.000 (sekitar Rp 123.000.000) untuk anak pertama dan kedua, serta S$13.000 untuk anak ketiga dan seterusnya. Ini merupakan peningkatan sebesar 30% hingga 37% dari sebelumnya.

"Meskipun ada banyak kebijakan pemerintah yang bertujuan mendorong lebih banyak pasangan untuk memiliki anak, membuang uang untuk masalah ini tidak akan menyelesaikan masalah," kata analis di Economist Intelligence Unit (EIU), Wen Wei Tan,.

"Mengatasi tingkat kesuburan mengharuskan kita untuk menghadapi beberapa kelemahan sistem yang mendasarinya," tambahnya.

"Yang berarti tidak hanya mengatasi tantangan demografis, namun juga membantu membangun kohesi sosial dan mungkin melihat bagaimana kita dapat menumbuhkan sikap yang lebih sehat terhadap pengambilan risiko," jelasnya.

Diketahui pada tahun 2022, EIU menempatkan Singapura sebagai kota termahal untuk ditinggali, berbagi posisi teratas dengan Kota New York. Memiliki rumah bersama juga menjadi tantangan bagi pasangan muda.

Menurut data CEIC, harga rumah di negara kota tersebut terus meningkat pesat, naik sebesar 7,5% tahun-ke-tahun pada bulan Juni 2023. Apartemen perumahan umum, yang dikenal secara lokal sebagai flat HDB, memiliki permintaan yang tinggi tetapi pasokannya tidak mencukupi.

Konstruksi sempat terhenti selama pandemi ini karena kekurangan tenaga kerja dan tingginya biaya bahan baku. Pasangan harus menunggu dua kali lebih lama untuk mendapatkan apartemen mereka sehingga menyebabkan beberapa orang terlambat menikah.

Biaya lain yang terkait dengan membesarkan anak di Singapura juga manjadi masalah lain. Ini menimbulkan rasa cemas yang membuat banyak warga menghindarinya.

"Saya mungkin merasa berbeda ketika berada di ambang kematian dan harus meninggal sendirian, namun saat ini, pilihannya tampaknya tepat bagi kami," kata seorang warga Singapura, yang bekerja di industri teknologi, menyebut keinginannya yang tak mau memiliki anak adalah pilihan yang tepat saat ini.


(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Subsidi Tak Ngefek, Ini Sebab Singapura Diguncang Resesi Seks

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular