RI Darurat Impor Tekstil Ilegal, Begini Penjelasannya
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketua Umum Asosiasi Produsen Serat dan Benang Filament Indonesia (APSyFI) Redma Gita Wirawasta mengatakan, Indonesia saat ini darurat impor tekstil ilegal. Impor tekstil yang masuk Indonesia, ujarnya, terus meningkat. Begitu juga dengan impor yang masuk secara ilegal ke pasar RI.
Redma mengutip data Data International Trade Center (ITC), tahun 2022, China mengekspor US$6,50 miliar tekstil ke Indonesia. Angka ini naik jika dibandingkan tahun 2021 yang tercatat mencapai US$5,86 miliar, dan tahun 2020 yang nilainya masih di Rp3,79 miliar.
"Data ITC itu berdasarkan data General Custom Administration of China. Ada gap yang semakin besar juga antara data yang dirilis ITC berdasarkan data impor tekstil yang dicatat BPS. Artinya ini adalah nilai impor yang masuk secara ilegal ke Indonesia," katanya kepada CNBC Indonesia, Jumat (15/9/2023).
"Tahun 2020, nilai gap impor tekstil dan garmen (HS 50-63) itu US$1,50 miliar. Tahun 2021 naik ke US$2,72 miliar. Dan tahun 2022 mencapai US$2,9r miliar," paparnya.
Nilai gap impor tahun 2022 itu, kata Redma, setara dengan 28.480 kontainer. Dengan asusmsi, nilai impor tekstil per kontainer adalah Rp1,5 miliar, maka setidaknya ada 2.370 kontainer tekstil ilegal yang masuk ke Indonesia setiap bulannya.
"Hal ini tentu sangat merugikan karena barang-barang impor ilegal ini tidak bayar bea masuk dan pajak, sehingga bisa dijual sangat murah di pasar domestik. Akibatnya, produk lokal kalah bersaing. Permasalahan ini sudah menahun jadi biang kerok terpuruknya industri TPT (tekstil dan produk tekstil) nasional," kata Redma.
"Nilai impor US$6,5 miliar (2022) itu setara dengan 800 ribu ton atau sekitar 45% dari kapasitas produksi industri garmen skala kecil menengah (IKM) yang berorientasi pasar domestik," ujarnya.
Dengan kapasitas itu, lanjut Redma, IKM garmen bisa menyerap tenaga kerja hingga 2,4 juta orang.
"Belum lagi jika ditarik sampai ke pembuatan kain, benang, serat hingga industri pendukung lainnya. Multiplier-effect ekonominya sangat besar. Selain pendapatan pemerintah dari sektor pajak, juga dari penggunaan listrik, pembayaran BPJS dan lain sebagainya," kata Redma.
"Untuk itu kami meminta agar pemerintah segera bertindak tegas baik di sisi importasinya maupun dari sisi peredarannya di pasar. Industri TPT nasional kini sudah kronis. Beberapa perusahaan tutup, sebagian mematikan mesin, hingga karyawan kena rasionalisasi karena utilisasi turun," pungkasnya.
(dce/dce)