Suku Bunga AS Naik, BI Janji Tak Bakal Ikut-Ikutan

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
Sabtu, 09/09/2023 19:10 WIB
Foto: Ist

Jakarta, CNBC Indonesia - Jajaran dewan gubernur Bank Indonesia sudah memperkirakan Bank Sentral AS, The Federal Reserve (The Fed) berpotensi menaikkan suku bunga acuannya di level 6%. Lebih tinggi dari suku bunga acuan BI yang telah di level 5,75%.

Meski begitu, BI tidak akan ambil pusing untuk mengejar laju suku bunga tersebut. Bahkan, BI membuka ruang masih terus mempertahankan level suku bunga acuan BI-7 day reverse repo rate tetap di level seperti saat ini.

Direktur Departemen Kebijakan Ekonomi dan Moneter BI Erwindo Kolopaking menjelaskan ruang kebijakan moneter itu bisa diterapkan di tengah tren kenaikan suku bunga acuan global karena memang acuan BI dalam menggerakan suku bunga adalah inflasi.


Tingkat inflasi di Indonesia hingga Agustus 2023 di level 3,27% sedikit naik dari level pada JUli 2023 yang sebesar 3,08%. Besaran inflasi itu masih sesuai dengan target yang telah dipatok BI pada tahun ini di level 3% plus minus 1%. Untuk tahun depan rentangnya menjadi 2,5% plus minus 1%.

"Kita meyakini tahun ini inflasi terjaga 3% dan tahun depan target inflasi juga rendah, sehingga tahun ini dan tahun depan masih akan terjaga," kata pria yang akrap disapa Dodo itu saat ditemui di Labuan Bajo, NTT, Sabtu (9/9/2023).

Di sisi lain, aliran modal pun menurutnya masih akan terus masuk ke Indonesia untuk memperkuat cadangan devisa dan stabilitas nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Sebab, yang ditakutkan investor menurut Dodo bukan level suku bunga Fed Fund Rate, melainkan kepastian besaran suku bunganya.

"Karena tadi dalam konteks yang penting kan sebenarnya bagi investor itu kepastian The Fed. Mau dia berapapun kalau sudah fix segitu mereka akan menempatkan uangnya," tuturnya.

"Enggak mungkin mereka menaruh di satu negara, kan mereka harus balancing, di emerging berapa, di advance berapa, balancing itu lah yang pasti akan masuk ke Indonesia," tegas Dodo.

Di sisi lain, ia menekankan, investor juga menyoroti pergerakan nilai tukar rupiah itu sendiri. Meski ada tren pelemahan, Dodo menekankan bahwa BI akan terus berada di pasar keuangan untuk memastikan volatilitas atau pergerakan rupiah terjaga atau tidak bergerak ekstrem.

"Kalaupun sudah 6%, kemudian mereka akan ngitung-ngitung dari negara berkembang ini mana yang paling menguntungkan, mana yang stabil nilai tukarnya. Jadi kita enggak melihat suku bunga, itu adalah ketika nanti bicara inflasi dan lain-lain, tapi sama nilai tukar kita punya isntrumen lainnya kita akan prioritaskan di situ," tuturnya.

Khusus untuk rupiah, Dodo kembali memastikan bahwa BI tidak menjaga pada level tertentu, seperti saat ini yang terus bergerak di level Rp 15 ribu atau dari yang level tahun-tahun sebelumnya di kisaran Rp 14 ribu per dolar AS. Menurutnya, yang dijaga BI adalah volatilitasnya melalui intervensi cadangan devisa.

"Karena yang paling berbahaya adalah ketika dia bergeraknya tidak menentu, misalnya hari ini menguat menjadi Rp 13 ribu, lalu besok menjadi Rp 17, jadi jelas orang akan bingung ini berapa sebenarnya harganya, jadi kestabilan itu yang kita tuju," ungkap Dodo.


(fab/fab)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Inflasi Inggris Betah di Level Tinggi Pada Mei 2025