Kamboja Penyelamat RI, Siap Ekspor 250 Ribu Ton Beras
Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden Joko Widodo mengungkapkan Kamboja menyambut baik rencana Indonesia akan impor beras 250 ribu ton per tahun. Namun rencana ini masih dalam penjajakan.
"Saya mengapresiasi sambutan Kamboja terkait keinginan Indonesia untuk mengimpor beras dari Kamboja sekitar 250 ribu ton per tahun," kata Jokowi, usai pertemuan PM Kamboja Hut Manet di Istana Merdeka, (4/9/2023) lalu.
Selain itu dalam pertemuan itu Jokowi juga mengungkapkan Indonesia siap mendukung infrastruktur ketahanan pangan Kamboja melalui pasokan pupuk dan pelatihan.
Sebelumnya Jokowi memutuskan impor beras sebanyak 2 juta ton pada tahun 2023 ini. Dimana ketahanan pangan menjadi fokus pemerintah di masa kondisi cuaca El Nino. Namun beberapa negara juga membatasi ekspor beras seperti Vietnam dan India.
Menteri Luar Negeri Retno Marsudi mengungkapkan ini merupakan kerja sama bukan hanya persoalan ekspor impor tapi juga masalah ketahanan pangan.
Selain itu dalam pertemuan itu juga ditandatangani nota kesepahaman pertanian antara Menteri Pertanian kedua negara.
"Di dalam diskusi juga kedua pemimpin Indonesia Kamboja bicara mendorong kerja sama antara BUMN Indonesia dengan BUMN Kamboja," katanya.
Kedua pemimpin juga membahas mengenai pentingnya penguatan kerja sama dalam perlindungan warga negara Indonesia (WNI), utamanya para WNI yang menjadi korban penipuan daring atau online scam.
"Bapak Presiden mengatakan dari Januari-Juli tahun ini, 777 kasus ditangani di Kamboja, 515 di antaranya terkait dengan online scam. Oleh karena itu Bapak Presiden menekankan pentingnya diperkuat kerja sama para penegak hukum," jelasnya.
Dalam Penjajakan
Kepala Badan Pangan Nasional (Bapanas) Arief Prasetyo Adi mengungkapkan Kamboja memang telah menyanggupi bakal memasok 250 ribu ton beras ke Indonesia per tahun. Namun hal ini masih dalam penjajakan karena ada prosedur yang harus dilewati.
"Masih dijajaki. Kan gini, importasi nggak langsung. Jadi MoU bagian pertama biasanya pemerintah ke pemerintah (Government to Government/G to G), setelah itu akan diikuti Business to Businessnya, itu nanti produk spesifikasi, ketersediaan mereka," kata Arief saat ditemui awak media di kawasan DPR RI, Senayan, Jakarta, Kamis (7/9/2023).
Selain itu, kata Arief, ada banyak dokumen hingga infrastruktur yang harus dilengkapi, sehingga tak cukup apabila dipersiapkan dalam waktu satu atau dua pekan saja.
"Apakah dia punya draft dari dermaga dia cukup untuk kapasitas berapa lebih teknis, sehingga kita nggak bisa bilang, begitu disetujui belum tentu selesai dalam satu dua minggu. Karena kan shipment-nya, kapasitas kapal, misalnya kalau Vietnam sudah bisa ngirim 50.000 kalau ini belum tentu 10.000 cukup nggak kapalnya, port-nya di mana harus dilihat," jelasnya.
Sementara terkait harga, Arief juga mengatakan harus bisa disesuaikan dengan aturan dan kemampuan Indonesia untuk membelinya.
"Kita makanya penjajakan, artinya apabila infrastruktur cukup, harganya cocok, kan ini ada harganya nih kalau harganya di atas Thailand dan Vietnam, mau beli nggak? Ini kan perlu kesesuaian di Bulog, kan ada mekanisme bidding, artinya akan cari harga yang terbaik dengan spek yang telah ditentukan," katanya.
(hoi/hoi)