AS Jadi Kucilkan Nikel RI? Luhut: Tunggu November
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan menyebut, diskusi antara Pemerintah Indonesia dan Amerika Serikat terkait diizinkan atau tidaknya nikel asal Indonesia untuk turut menjadi bagian dari subsidi energi hijau AS yang tertuang dalam Inflation Reduction Act (IRA), terlihat memberikan sinyal positif bagi Indonesia.
Luhut pun berharap, pada November 2023 mendatang sudah ada solusi bersama yang saling menguntungkan kedua negara.
"Kami juga sudah berdiskusi dengan USAID, saya kira progresnya baik. Mudah-mudahan pada November mendatang kita dapat solusi atas isu ini karena ini akan menguntungkan, tidak hanya untuk Indonesia, tapi juga untuk Amerika Serikat, dan semua orang," tuturnya dalam Indonesia Sustainability Forum (ISF) di Jakarta, Kamis (07/09/2023).
Seperti diketahui, Amerika Serikat telah memutuskan untuk mengeluarkan insentif hijau bagi perusahaan-perusahaan yang menjalankan bisnis berbasis ramah lingkungan atau menggunakan teknologi pengurangan emisi karbon.
Insentif atau subsidi hijau ini dikenal dengan Undang-Undang Pengurangan Inflasi atau Inflation Reduction Act (IRA) yang telah ditandatangani Presiden AS Joe Biden pada 16 Agustus 2022 lalu.
Tujuannya, tak lain untuk menunjukkan komitmen AS untuk membangun sebuah ekonomi energi bersih yang baru. IRA ini mengatur bahwa Pemerintah AS akan mendukung pembangunan ekonomi berbasis energi bersih melalui kombinasi hibah, pinjaman, insentif, dan dukungan lainnya.
Namun sayangnya, aturan ini diperkirakan akan berdampak pada Indonesia, khususnya produk nikel RI. Melalui IRA ini, pabrik atau kendaraan listrik yang mendapatkan pasokan nikel dari RI dikecualikan dari pihak yang bisa mendapatkan insentif hijau dari Pemerintah AS ini.
Benarkah? Mengapa itu bisa terjadi?
Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) Septian Hario Seto menjelaskan, melalui IRA ini, Pemerintah AS memberikan insentif melalui dua skema yakni Production Tax Credit (PTC) dan Consumer Tax Credit (CTC).
"Banyak pertanyaan ke kami terkait Indonesia yang tidak mendapatkan insentif IRA. Realitanya, sejujurnya, ini sangat rumit, karena ternyata birokrasi Pemerintah AS lebih rumit daripada Indonesia. Jadi saya kira ini faktanya, tapi jangan khawatir, struktur insentif IRA dibagi ke dalam dua hal, yaitu Production Tax Credit dan Consumer Tax Credit," paparnya dalam acara "Nickel Conference 2023" CNBC Indonesia di Jakarta, Selasa (25/07/2023).
Khusus untuk insentif kendaraan listrik (electric vehicle/ EV), dari sisi produsen atau PTC, insentif akan diberikan kepada siapapun yang akan membangun pabrik sel dan pack baterai di Amerika Serikat, tanpa perlu memandang apakah ada syarat harus memiliki Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA) dengan AS atau tidak.
Adapun insentif yang diberikan yaitu untuk sel baterai sebesar US$ 35 per kilo Watt hour (kWh), dan pack battery US$ 10 per kWh. Sementara untuk mineral kritis dan elektroda material aktif (active material electrode) diberikan kredit pajak 10% dari total biaya produksi.
"Jadi pada Production Tax Credit, ini tidak membutuhkan FTA. Persyaratannya hanya selama Anda membangun pabrik cell and pack battery di AS, Anda akan mendapatkan insentif US$ 35 per kWh untuk cell battery dan US$ 10 per kWh untuk pack battery, dan ada juga tax credit bagi Anda yang membangun pabrik mineral aktif di sana," jelasnya.
"Jadi tak ada persyaratan dari mana nikel itu berasal, apakah harus dari negara yang memiliki FTA dengan AS? tidak. Jadi, untuk Production Tax Credit, persyaratannya yaitu selama Anda membangun pabrik (cell and pack battery) di AS, maka bisa termasuk kualifikasi yang berhak mendapatkan Production Tax Credit," tegasnya.
Namun di sisi lain, lanjutnya, yang menjadi perhatian dari pabrikan otomotif kendaraan listrik di AS adalah terkait pasokan nikel itu sendiri. Seperti Ford misalnya, menurutnya yang lebih menjadi fokus mereka yaitu bagaimana bisa mendapatkan pasokan nikel agar mereka bisa membangun pabrik di AS. Bila mereka membangun pabrik cell dan pack battery di AS, maka insentif yang mereka dapatkan akan jauh lebih besar ketimbang dari persyaratan untuk Consumer Tax Credit.
Jika mereka membangun pabrik di AS, maka mereka akan mendapatkan insentif sebesar US$ 4.500 per unit produksi.
"Jadi, mereka benar-benar tidak memerlukan FTA atau apa lah, selama mereka bisa membangun pabrik di sana, dan mendapatkan kepastian suplai materialnya, di mana salah satunya yaitu nikel, maka mereka bisa mendapatkan insentif US$ 4.500 per unit (produksi)," paparnya.
Sementara dari sisi Consumer Tax Credit (CTC), ini dibagi lagi menjadi dua kategori, yaitu mineral kritis (critical minerals seperti lithium, nickel, cobalt, mangan, dan grafit), dan material baterai.
Untuk kategori mineral kritis, insentif yang diberikan sebesar US$ 3.750. Namun ini memiliki sejumlah persyaratan, antara lain, insentif ini hanya bisa diberikan kepada mineral yang diekstrak dan diproses di AS atau negara-negara yang memiliki FTA dengan AS, termasuk daur ulang (recycling) di Amerika Utara. Sebelum 2024, syarat terkait keharusan ekstraksi di AS atau negara-negara memiliki FTA dengan AS, mencapai 40%, 2024 50%, 2025 60%, 2026 70%, dan setelah 2026 80%.
Setelah 2024, ada pertimbangan tidak ada mineral yang datang dari pihak asing, sebagai salah satu syarat untuk mendapatkan insentif ini.
Sementara untuk kategori material baterai, insentif yang diberikan juga sebesar US$ 3.750, namun dengan syarat harus diproduksi atau dirangkai di Amerika Utara. Setelah 2023, ada pertimbangan tidak ada mineral yang datang dari pihak asing juga merupakan salah satu syaratnya.
Terkait syarat material baterai harus diproduksi atau dirangkai di Amerika Utara, sebelum 2024 harus 50%, 2024/2025 60%, 2026 70%, 2027 80%, 2028 90%, dan setelah 2028 100%.
Namun demikian, dirinya meyakini hal ini belum menjadi prioritas Pemerintah AS dalam waktu dekat, terutama karena akan ada Pemilihan Umum.
"Sejujurnya, menurut opini pribadi saya, karena akan ada Pemilihan Umum AS dalam waktu dekat. Saya kira mereka tidak akan menempatkan kebijakan ini sebagai prioritas. Jadi ya, saya kira kita harus bersabar terkait kesepakatan perdagangan ini," tuturnya.
"Tapi saya kira, praktek di lapangan saat ini, Anda harus mengamankan pasokan nikel terlebih dahulu, karena jika Anda tidak mendapatkan kepastian suplai nikel, maka Anda tidak akan mendapatkan benefit apapun dari Production Tax Credit," imbuhnya.
(wia)