Tak Disetop, Pabrik Nikel Baru Harus Gunakan Energi Hijau
Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia menyatakan bahwa pemerintah bakal mewajibkan smelter nikel baru berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) menggunakan listrik dari sumber energi baru terbarukan (EBT).
Adapun smelter ini menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa Nickel Pig Iron (NPI) dan feronikel (FeNi).
Bahlil mengatakan, smelter baru berteknologi RKEF akan diwajibkan untuk menggunakan pasokan energi dari sumber energi bersih. Ia pun bakal melarang smelter-smelter tersebut menggunakan PLTU batu bara sebagai sumber listriknya.
"NPI itu, gini, ke depan, smelter-smelter ini harus kita bawa untuk memakai green energy. Nggak bisa lagi pakai batu bara, untuk NPI," ujar Bahlil usai acara diskusi 'membangun ekosistem baterai kendaraan listrik' Selasa (29/8/2023).
Selain itu, ia juga memastikan bahwa pemerintah tidak akan lagi memberikan insentif berupa pengurangan pajak atau tax holiday bagi smelter nikel baru berteknologi RKEF. Kebijakan tersebut diambil dengan mempertimbangkan nilai tambah yang dihasilkan dari produk tersebut.
"Bahkan NPI, kita tidak lagi memberikan tax holiday. Kenapa? Karena nilai tambahnya belum maksimal. Ke depan ini penting untuk kita pertimbangkan," ujar Bahlil.
Sebelumnya, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengimbau agar tidak ada investasi untuk pembangunan smelter nikel baru, terutama untuk smelter nikel kelas dua yang menghasilkan feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).
Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa pihaknya sudah menghimbau untuk tidak ada lagi investasi yang masuk dalam pembangunan smelter nikel baru berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Khususnya yang menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi).
"Udah diimbau. Sementara ini sudah diimbau untuk tidak lagi menginvestasikan ke situ," kata Arifin ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (11/8/2023).
Ahli pertambangan pun sempat melontarkan rekomendasi agar pemerintah menghentikan pembangunan smelter nikel baru. Pasalnya, jumlah smelter nikel yang beroperasi saat ini dan dalam tahap perencanaan dan dijadwalkan beroperasi pada beberapa tahun mendatang akan menguras cadangan nikel dalam negeri "habis-habisan".
Ketua Umum Perhimpunan Ahli Pertambangan (Perhapi) Rizal Kasli mengatakan bahwa pihaknya sudah beberapa kali mengusulkan kepada pemerintah untuk melakukan moratorium smelter nikel jika belum ditemukan cadangan nikel baru yang tersedia di Indonesia.
"Kami beberapa kali usul dilakukan moratorium pembangunan smelter pirometalurgi karena menggunakan nickel ore kadar tinggi, saprolit, yang minim. Kalau digenjot terus, kita khawatir ketahanan cadangan nikel riskan," jelas Rizal kepada CNBC Indonesia dalam program 'Mining Zone', dikutip Selasa (8/8/2023).
Rizal menjelaskan, bijih nikel sendiri tebagi menjadi dua jenis yakni bijih nikel dengan kadar tinggi atau saprolit yang diproses melalui smelter pirometalurgi. Jenis kedua adalah bijih nikel dengan kadar rendah atau limonit yang diproses melalui smelter hidrometalurgi.
Khusus jenis saprolit, Rizal menjelaskan bahwa umur cadangan di Indonesia paling lama hanya mencapai 7 tahun lagi. Itu apabila semua smelter nikel di Indonesia beroperasi baik yang eksisting maupun yang baru.
"Kami kira apabila semua smelter terutama yang pirometalurgi selesai dibangun, cadangan saat ini bertahan sekitar 5-7 tahun, karena jumlah kebutuhan nikel 460 juta ton apabila semua smelter dibangun," bebernya.
Sedangkan, untuk jenis bijih nikel kadar rendah atau limonit, Rizal mengatakan bahwa dengan cadangan yang ada saat ini bisa tahan hingga 33 tahun ke depan.
"Untuk limonit, data yang di bawah 1,5% kadarnya, untuk apabila semua refinery atau smelter hidrometalurgi selesai dibangun, bertahan sekitar 33 tahun kurang lebih," tandasnya.
(wia)