Polusi Masih Akut, Pemakaian BBM Pertalite Jadi Dibatasi?

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Senin, 28/08/2023 09:55 WIB
Foto: Sejumlah kendaraan antre untuk mengisi Bahan Bakar Minyak (BBM) non subsidi di SPBU kawasan Jakarta, Rabu (1/3/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) mengaku sedang melakukan pembahasan mengenai pemakaian Bahan Bakar Minyak (BBM) jenis RON 90 atau Pertalite. Hal itu imbas dari polusi udara di wilayah Jakarta dan sekitarnya yang diketahui salah satunya terjadi karena pemakaian kendaraan yang berbasis BBM rendah emisi.

Sebagaimana diketahui, mengacu data IQAir pada Senin (28/8/2023) pukul 8.40 WIB, kualitas udara di DKI Jakarta masih merah. DKI Jakarta masuk 3 besar kota dengan polusi paling jelek di Dunia.

Tercatat tingkat polusi di DKI Jakarta mencapai indeks 156 dengan polutan utama mencapai 2,5. "Konsentrasi PM 2.5 di Jakarta saat ini 12,9 kali lipat dari nilai pedoman kualitas udara tahunan WHO," mengutip IQAir.


Sekretaris Jenderal Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Dadan Kusdiana mengungkapkan bahwa pihaknya akan mengkaji kendaraan berbasis BBM yang beredar di daerah Jakarta dan sekitarnya. Dia menyebutkan bahwa BBM yang memiliki oktan tinggi maka akan menghasilkan pembakaran yang lebih rendah emisi.

"Kita akan liat selain PLTU tapi juga BBM. Kan secara teknis makin tinggi angka oktan pembakarannya makin bagus. Kalo pembakaran makin bagus, emisinya akan semakin sedikit," di sela pembukaan acara 41st ASEAN Ministers on Energy Meeting (AMEM), Nusa Dua, Bali, Kamis (24/8/20023).

Oleh karena itu, Dadan mengatakan pihaknya sedang membahas perihal penggunaan bahan bakar minyak (BBM) rendah oktan tersebut. Sebagaimana diketahui, di Indonesia sendiri BBM yang rendah oktan seperti halnya BBM RON 90 yakni Pertalite.

Dia menyebutkan bahwa rencana tersebut masih dibahas secara internal. Dia mengungkapkan pembahasan itu mencakup teknis penyaluran, regulasi, hingga sisi keekonomiannya. "Kita lagi bahas, lagi lihat secara teknis maupun secara regulasi dan secara keekonomian karena kan berbeda," kata Dadan.

Tak hanya soal pembatasan pemakaian BBM itu, Dadan mengatakan bahwa saat ini pihaknya juga berencana untuk melakukan subsidi pada BBM jenis Pertamax. "Itu (rencana subsidi Pertamax) termasuk yang sedang dibahas," ujarnya.

Sebelumnya, Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mencatat polusi udara di DKI Jakarta terbesar datang dari pembakaran bahan bakar kendaraan ditambah adanya polusi debu. Tercatat, ada sekitar 40-an juta kendaraan bermotor yang lalu lalang di DKI Jakarta.

Hal itu disampaikan langsung oleh Deputi Koordinator Bidang Transportasi dan Infrastruktur Kemenko Marves, Rachmat Kaimuddin, Selasa (22/8/2023). Ia bilang, secara fundamental polusi udara datang dari pembakaran bahan bakar kendaraan yang tidak sempurna.

"Pembakaran bahan bakar ini tentunya berasal dari kendaraan bermotor yang menggunakan bahan bakar minyak (BBM) beroktane rendah. "Kita punya 20 juta lebih kend bermotor di DKI Jakarta saja, belum yang keluar masuk ada 17 juta motor di DKI sekitar 3 juta something mobil, belum lagi bus truk dan sebagainya,"

Ada PLTU juga, ada ribuan industri. Ini semua saling kontribusi, solusi utama adalah bagaimana menurunkan pembakaran ini combustionnya. Bagaimana kita limit emisi jika pembakaran terjadi dan bagaimana melindungi masyarakat dari terpapar polusi," terang Rachmat Kaimudin kepada CNBC Indonesia dalam Energy Corner, Selasa (22/8/2023).

Rachmat mengatakan bahwa berdasarkan studi yang dilakukan oleh Vital Statistic DKI Jakarta, penyumbang terbesar polusi udara yang saat ini menghantui Jakarta adalah berasal dari sektor transportasi, industri, dan pembangkit listrik.

"Tapi yang saya pakai misal kalau ini dari DKI ada 9 data poin sumber emisi parameternya big three, pertama transportasi, kedua industri, dan ketiga pembangkit listrik," ujar Rachmat kepada CNBC Indonesia dalam program Energy Corner, Selasa (22/8/2023).

Adapun lebih rinci, Rachmat menyebutkan bahwa sektor transportasi menjadi sektor yang menyumbang paling banyak emisi karbon di Jakarta. Selain itu, ada pula jenis polutan yang dinilai paling berbahaya bila terhirup yang mana juga terkandung pada polusi yang dihasilkan dari sektor transportasi yakni PM 2,5.

"Dari Vital Statistic Jakarta ini, dari 5 polutan ada SO2, ada NOX, CO, PM 10, dan PM 2,5. Ini partikel yang paling berbahaya PM 2,3 karena sangat kecil dan bisa masuk paru-paru. Yang paling besar itu 4 dari 5 polutan yang ada di studi ini itu keluar dari sektor transportasi terbesar yang PM 2,5 67%, kemudian industri 26,8%, power plant 5,7%. Jadi 2/3 datang dari transportasi," tambahnya.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Genset Terimbas Efisiensi, Pelaku Usaha Berharap Ini