Peringatan Keras! Cadangan Nikel RI Sekarat

pgr, CNBC Indonesia
Rabu, 23/08/2023 07:45 WIB
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Cadangan nikel di Indonesia diprediksi tidak akan berumur panjang. Bahkan ahli-ahli pertambangan hingga DPR mencatat cadangan nikel Indonesia hanya mampu bertahan sekitar 7 tahun saja.

Terkurasnya cadangan nikel di Indonesia, imbas produksi nikel yang besar untuk mensuplai ke fasilitas pengolahan dan pemurnian (smelter) yang dinilai sudah terlalu banyak.

Maka itu, Komisi VII Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI mendorong pemerintah untuk bisa menghemat persediaan nikel dalam negeri. Tak hanya DPR, Indonesian Mining Association (IMA) mendorong pemerintah untuk membangun industri lanjutan untuk nikel agar hasil hilirisasi dalam negeri tidak diekspor dan menggali lebih banyak nikel di Indonesia.


Anggota Komisi 7 DPR RI, Mulyanto mengatakan bahwa Indonesia harus menghemat persediaan nikel yang ada saat ini. Dia mengatakan seharusnya pemerintah melarang ekspor nikel setengah jadi yang memiliki kandungan 4%-10%.

"Jadi kenapa ini kan sisa 7 tahun kalau memang akurat, ini kan kepepet di 7 tahun itu sebentar lagi apalagi kalau hitungan politik ya nggak sampai satu setengah periode itu. Ini di eman-eman (hemat) sumber daya alam nilai tinggi ini jangan kita ekspor NPI dari 1,7% hanya tingkat hanya 4-10 % kita ekspor barang bongkahan itu," ungkap Mulyanto kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Senin (14/8/2023).

Dia juga mengatakan bahwa pemerintah lamban menangani persoalan menipisnya cadangan nikel yang semakin menipis. Dia menilai dengan sisa waktu yang diperhitungkan sekarang yakni 7 tahun merupakan waktu yang tidak lama lagi.

"Menurut kami pemerintah lamban ya ga serius menangani persoalan ini. Menurut kami udah lama ini di DPR udah bahas ini kami sudah rekomendasikan untuk segera menghentikan yang namanya smelter tipe 1 yang maksudnya memproduk hilirisasi tipe 1 nikel pig ion feronikel dsb," jelasnya.

Adapun, dia juga mengatakan bahwa seharusnya saprolit yang dimiliki Indonesia bisa diolah menjadi barang yang memiliki nilai lebih tinggi lagi. Apalagi, sebut Mulyanto, hasil olahan saprolit menjadi NPI yang diekspor itu dikenakan bebas pajak.

"Sayang sekali nikel kita saprolit yang 1,7% itu diolah hanya jadi NPI saya rasa hilirisasi yang setengah hati ini harus kita sudahi. NPI masih diekspor bebas pajak lagi ya," tandasnya.

Di lain sisi, Plh Direktur Eksekutif IMA, Djoko Widajatno mengatakan bahwa Indonesia perlu mempersiapkan diri untnuk bisa membangun industri lanjutan agar bisa menghemat persediaan nikel dalam negeri.

Dia menjelaskan bahwa salah satu industri yang tengah diusahakan oleh pemerintah adalah industri baterai kendaraan listrik. Namun, Djoko menilai industri itu memerlukan persiapan yang panjang dan tidak mudah.

"Nah industri ini butuh kerja keras makanya pemerintah punya program-program untuk percepatan industri Indonesia mengirim orang keluar untuk belajar teknologi yang mungkin bisa kita bangun karena teknologi yang kita miliki saat ini butuh pembangunan panjang," ungkapnya dalam kesempatan yang sama.

Adapun Djoko mengatakan bahwa Indonesia harus memanfaatkan bahan baku dalam negeri untuk pembangunan industri dalam negeri juga.

"Memang sumber daya yang kita miliki kemudian bisa kita bangun industri-industri dalam negeri dengan menggunakan bahan baku yang kita miliki kalau tidak, kita akan bergantung pada orang lain karena industri-industrinya harus dari bahan orang lain," tambahnya.

Menteri ESDM Arifin Tasrif mengatakan bahwa pihaknya sudah mengimbau untuk tidak ada lagi investasi yang masuk dalam pembangunan smelter nikel baru berteknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF). Khususnya yang menghasilkan produk olahan nikel kelas dua berupa nickel pig iron (NPI) dan feronikel (FeNi).

"Udah diimbau. Sementara ini sudah dihimbau untuk tidak lagi menginvestasikan ke situ," kata Arifin ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (11/8/2023).


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ahli UGM Sebut Kerugian Tambang Raja Ampat Lampaui Kasus Timah