Polemik Utang Migor Pemerintah, Bos BPDPKS Ungkap Faktanya
Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Utama Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) Eddy Abdurrachman mengungkapkan sampai saat ini pihaknya masih belum menerima hasil verifikasi dari Kementerian Perdagangan (Kemendag) terkait dengan pembayaran utang selisih harga penjualan minyak goreng atau rafaksi.
"Sampai dengan saat ini belum ada hasil verifikasi yang disampaikan ke BPDPKS dari Kemendag," kata Eddy saat ditemui CNBC Indonesia di Jakarta, Senin (14/8/2023).
Padahal jika sesuai dengan regulasi berlaku, BPDPKS tidak bisa membayarkan utang rafaksi minyak goreng sebelum mendapatkan hasil verifikasi dari Kemendag.
"Kan sesuai dengan regulasinya bahwa BPDPKS itu baru dapat membayarkan utang dana rafaksi itu tadi setelah ada hasil verifikasi dari Kementerian Perdagangan, dalam hal ini Dirjen Perdagangan Dalam Negeri," jelasnya.
Eddy menekankan, "Sampai dengan saat ini kita belum terima."
Lebih lanjut Eddy menuturkan, sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku, BPDPKS wajib untuk membayar utang dana rafaksi tersebut. Namun, BPDPKS baru bisa membayarkannya jika sudah mendapat hasil verifikasi dari Kemendag yang sampai dengan saat ini masih belum terlihat juga hilalnya.
"Itu kan di sepanjang kita mendapatkan hasil verifikasi yang di Kemendag karena itulah yang menjadi dasar. Ya sesuai dengan peraturan perundang-undangan bagi BPDPKS untuk membayar, dasarnya itu saja. Kalau belum ada itu, ya kami belum bisa, karena nanti bertentangan dengan peraturannya," ujarnya.
Seperti diketahui, rafaksi atau selisih harga minyak goreng ini tengah berpolemik. Pasalnya, pengusaha ritel mengungkapkan belum menerima pembayaran atas rafaksi tersebut. Yang merupakan dampak dari program minyak goreng bersubsidi satu harga yang diluncurkan pemerintah tahun 2022 lalu. Menyusul, lonjakan harga dan kelangkaan minyak goreng saat ini.
Menurut PT Sucofindo selaku surveyor yang ditunjuk Kemendag menyatakan utang rafaksi pemerintah terhadap pelaku usaha minyak goreng dan peritel adalah sebesar Rp 474 miliar. Sedangkan, tagihan yang diklaim para pelaku usaha sebesar Rp 812 miliar.
Masalah muncul lantaran pemerintah telah mencabut Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 1/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit yang menjadi payung hukum program tersebut. Dan menggantinya dengan Permendag No 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit. Yang juga telah dicabut dengan Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.
Akibatnya, untuk pelaksanaan pembayaran, pemerintah lalu meminta pandangan hukum dari Kejaksaan Agung (Kejagung) dan verifikasi dari Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP).
Di sisi lain, pada hari Senin (17/7/2023) lalu, BPKP mengaku telah memberikan laporan terkait hasil audit utang rafaksi minyak goreng kepada Kemendag.
"Laporan sudah kami sampaikan ke Kemendag, silahkan hubungi Pak Isy Karim Dirjen PDN (Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri) ya," kata Deputi Bidang Pengawasan Instansi Pemerintah Bidang Perekonomian dan Kemaritiman BPKP Salamat Simanullang kepada CNBC Indonesia, Senin (17/7/2023).
Salamat mengungkapkan pihaknya tidak dapat melakukan audit lagi, karena tidak ada wewenang di dalam regulasinya. Adapun keputusan berikutnya, kata dia, berada di tangan Kemendag selaku pihak yang berhutang.
"Intinya, kami tidak dapat melakukan audit lagi karena tidak ada wewenang di regulasinya. Keputusan berikutnya tergantung Kemendag," kata Salamat.
(dce)