Wah! Diam-diam Perusahaan RI Lagi 'Kebanjiran' Uang
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Indonesia (BI) mendeteksi likuiditas perusahaan kini melimpah. Kondisi ini menyebabkan mereka enggan mengajukan permintaan kredit karena ditambah sikap wait and see menyikapi kondisi perekonomian tahun depan.
Kepala Departemen Kebijakan Makroprudensial Bank Indonesia, Solikin M. Juhro mengatakan, ini merupakan fenomena yang terjadi secara global, terutama dampak dari windfall atau pesta durian runtuh akibat lonjakan harga-harga komoditas pada beberapa tahun terakhir.
"Karena memang sebagai korporasi waktu harga komoditas tinggi dia dapat banyak cash," ucap Solikin saat Taklimat Media di Gedung Bank Indonesia, Jakarta, Rabu (9/8/2023).
Tingginya tingkat likuiditas korporasi ini menurutnya menjadi salah satu faktor yang dapat menjelaskan laju pertumbuhan kredit dan dana pihak ketiga (DPK) melambat pada Juni 2023.
Berdasarkan catatan Otoritas Jasa Keuangan (OJK) kredit perbankan pada Juni 2023 tumbuh 7,76% secara tahunan (yoy). Tingkat pertumbuhan ini melambat bila dibandingkan dengan Mei 2023 yang tumbuh 9,39%.
Sementara itu, pertumbuhan DPK pada bulan itu melambat menjadi 5,79% yoy, dibandingkan Mei 2023 yang tumbuh 6,55% menjadi.
Kondisi ini menurutnya juga dipengaruhi oleh strategis bisnis korporasi yang cenderung memanfaatkan utang tunainya itu untuk membayar utang-utangnya, sekaligus merespons potensi pelemahan harga-harga komoditas tahun ini.
"Mereka melihat strategi dia lebih baik lunasi utang dulu, daripada saya ekspansi," tutur Solikin.
Di sisi lain, ia menekankan, memang menjadi sebuah keniscayaan, menjelang Pemilu 2024 banyak korporasi memilih untuk wait and see dalam menentukan investasinya. Maka mereka belum memiliki minat kuat untuk mengajukan kredit.
"Kalau kalkulasi wait and see ini kan sudah jadi suatu keniscayaan dia melihat bagaimana prospek ke depan, bagaimana dia tujukan itu, tapi mereka lebih sebagian korporasi karena harga komoditas mulai turun sekarang tadi yang bagian cash nya untuk melunasi utang-utang," ucap Solikin.
"Tahun depan mau investasi apa yang lebih prospek ini yang memang dengan konteks itu dari sisi DPK pertumbuhannya melambat. Ini yang memang seharusnya akan mempengaruhi kondisi kredit karena DPK nya segitu," tuturnya.
Oleh sebab itu, untuk mendorong perbankan aktif menyalurkan kredit atau pembiayaan, Bank Indonesia mengeluarkan Kebijakan Insentif Likuiditas Makroprudensial (KLM) yang berlaku pada 1 Oktober 2023. Insentif ini dalam bentuk pengurangan porsi penyetoran giro wajib minimum (GWM) maksimal 4% dari total kewajiban sebesar 9%.
Penetapan besaran total insentif paling besar 4% ini meningkat dari sebelumnya paling besar 2,8%. Dengan kebijakan ini, BI memperkirakan likuiditas perbankan bisa bertambah Rp 50 triliun atau sekitar Rp 158,6 triliun, dengan potensi pertumbuhan kredit bertambah 0,6-0,7% dari basis target kredit 2023 sebesar 9-11%.
(mij/mij)