
Ramai Dunia Serang RI, Jokowi Beri Pesan Menohok

Jakarta, CNBC Indonesia - Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) memastikan, Indonesia akan terus melaksanakan program larangan ekspor mineral mentah dan hilirisasi pertambangan di dalam negeri. Hal itu meskipun banyak institusi dunia mengkritisi dan menentang kebijakan itu.
Ia menyebutkan, "serangan" dari institusi global yang bertubi-tubi itu termasuk gugatan dari Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO), hingga kritikan Dana Moneter Internasional (IMF).
"Oleh sebab itu, hilirisasi ini apapun harus kita teruskan, meskipun kita digugat oleh WTO, meskipun kita diberikan peringatan oleh IMF, apapun barang ini harus kita teruskan," ujar Jokowi di Grand Ballroom Hotel Kempinski, Jakarta, beberapa waktu yang lalu.
Kepala Negara menegaskan, kebijakan hilirisasi di dalam negeri itu penting untuk mendorong Indonesia menjadi negara maju pada 2040-2045. Karena itu, ia memastikan, pemerintahannya komitmen menjalankan program itu hingga tuntas.
"Karena menurut saya ada dua hal penting yang menyebabkan kita bisa melompat menjadi negara maju, pertama pengembangan SDM karena bonus demografi yang sukses dilakukan, sekarang ini belum," tutur Jokowi.
"Kalau itu bisa dilakukan, hilirisasi berhasil untuk perkebunan perikanan pertanian, kalau hitungan World Bank, IMF, OECD di 2040-2045 saya yakin ini bisa agak maju," tegasnya.
Presiden Jokowi mengungkapkan, dampak hilirisasi nikel Indonesia sudah menghasilkan lapangan kerja jauh berlipat-lipat jika dibandingkan ketika hanya menjual mineral mentah.
Sebelum hilirisasi, ia menyatakan, lapangan kerja di sektor nikel hanya sebesar 1.800 tenaga kerja. Namun ketika sudah melakukan program hilirisasi, jumlah tenaga kerja yang diserap mencapai 71.500 orang. Jumlah tersebut pun hanya yang berada di Sulawesi Tengah, belum termasuk di daerah lain yang juga turut menggencarkan program hilirisasi.
"Kemudian, di Maluku Utara, sebelumnya hanya 500 orang, setelah hilirisasi 45.600 pekerja yang bisa bekerja di hilirisasi nikel di sana," imbuhnya.
Selain itu, Presiden menyebutkan bahwa nilai ekspor nikel Indonesia setelah penerapan hilirisasi di Tanah Air melonjak menjadi US$33,8 miliar atau sekitar Rp512 triliun (asumsi kurs Rp15.152/US$) pada 2022 lalu dari US$2,1 miliar atau sekitar Rp31,82 triliun sebelum hilirisasi berjalan pada beberapa tahun lalu.
"Kalau kita lihat ini untuk seluruh produk turunan nikel, tidak hanya besi baja saya dulu US$1,1 billion, ini seluruh produk turunan nikel 2014-2015 ke sana kita ekspor barang mentah hanya menghasilkan US$2,1 billion, kurang lebih Rp31 triliun," beber Presiden Jokowi.
"Setelah hilirisasi menjadi Rp510 triliun, dari nikel kembali lagi dari US$2,1 billion melompat menjadi US$33,8 billion, berarti melompatnya berapa kali," tuturnya.
Diketahui, Uni Eropa menggugat Indonesia di WTO karena melarang ekspor bijih nikel pada 2020. Namun, pada Oktober 2022 lalu WTO menyetujui gugatan Uni Eropa dan meminta Indonesia untuk mengubah kebijakannya. Pemerintah Indonesia pun langsung mengajukan banding atas kekalahan pertama ini pada Desember 2023 lalu.
Tidak lama kemudian, Uni Eropa kembali melakukan "serangan" baru melalui konsultasi Penegakan Aturan atau Enforcement Regulation, padahal proses sidang banding belum dilaksanakan. Ini dilakukan untuk melakukan konsultasi kepada industri-industri yang dirugikan atas kebijakan Pemerintah Indonesia.
Jika terbukti ada kerugian, Uni Eropa akan melakukan pembalasan, salah satunya menerapkan bea masuk barang-barang dari Indonesia.
Selain Uni Eropa, IMF juga mengkritik kebijakan hilirisasi Presiden Jokowi. IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.
"Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Sabtu (5/8/2023).
Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
"Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif," tambahnya.
(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Jokowi: Hati-hati Pilih Pemimpin di 2024!
