Dolar Tembus Rp15.167, Aturan DHE Jokowi Gagal Jaga Rupiah?
Jakarta, CNBC Indonesia - Nilai tukar rupiah terhadap dolar Amerika Serikat (AS) kian terpuruk, meski Presiden Joko Widodo telah mengeluarkan aturan terbaru untuk menjaga stabilitas eksternal Indonesia melalui peraturan devisa hasil ekspor (DHE).
Mengutip data Refinitiv per pukul 10.09 WIB, Rabu (2/8/2023), rupiah bergerak ke level Rp 15.167 per dolar AS atau melemah 0,38% dari level penutupan perdagangan sebelumnya di level Rp 15.110 per dolar AS. Pada saat pembukaan perdagangan pun telah di level Rp 15.130 per dolar AS.
Pelemahan saat pembukaan perdagangan itu telah mencapai 0,13%. Posisi rupiah terhadap dolar AS saat pembukaan perdagangan hari ini juga menjadi yang terendah sejak 11 Juli 2023 atau 16 hari terakhir. Pelemahan ini melanjutkan tren kemarin yang juga melemah sebesar 0,23% ke Rp 15.110/US$1.
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede mengungkapkan, kebijakan DHE yang Presiden Jokowi atur kembali dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 36 Tahun 2023 tentang DHE dari Kegiatan Pengusahaan, Pengelolaan, dan/atau Pengolahan Sumber Daya Alam (SDA) itu memang tidak serta merta mampu memperkuat nilai tukar rupiah secara signifikan.
Menurutnya, ini karena selain faktor fundamental, rupiah juga akan dipengaruhi oleh faktor sentimen di pasar keuangan global yang cenderung dinamis. Selain itu, juga perlu mempertimbangkan dampak normalisasi harga komoditas global yang juga akan mempengaruhi potensi DHE yang ditempatkan di dalam negeri.
"Jadi menurut saya, untuk arah pergerakan rupiah diperkirakan masih akan bergerak di level 14.000-15.000 dalam jangka pendek-menengah," ucap Josua kepada CNBC Indonesia, Rabu.
Josua berpendapat,kebijakan ini sebenarnya cukup baik, yakni meningkatkan penempatan devisa hasil ekspor di sistem perbankan dalam negeri, untuk mendukung nilai tukar yang lebih stabil ke depannya.
Dengan adanya pengaturan mengenai jangka waktu minimal penempatan DHE di domestik paling singkat tiga bulan dan minimal jumlah penempatan DHE sebesar 30% dari total nilai ekspor sebetulnya memang bisa mempertebal cadangan devisa untuk memperkuat ketahanan eksternal, termasuk rupiah.
Perhitungan kasarnya, dalam setahun terakhir menurut Josua setiap bulannya ekspor Indonesia yang berasal dari SDA mencapai US$ 6 miliar. Dengan demikian, DHE yang seharusnya masuk ke domestik dengan adanya aturan ini mencapai US$ 1,8 miliar setiap bulannya.
"Angka ini dapat menambah likuiditas dolar di pasar domestik dan memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah ke depan," tegasnya.
Namun, ia mengingatkan di sisi lain, kebijakan ini juga berdampak bagi dunia usaha, mengingat pendapatan yang dihasilkan dari ekspor tidak langsung dapat digunakan sepenuhnya. Terutama bagi sektor-sektor yang terpengaruh dalam aturan tersebut yakni Pertanian, Pertambangan, Kehutanan, dan Perikanan.
Selain itu, pemerintah juga perlu mempertimbangkan kemungkinan opportunity loss bagi eksportir jika suku bunga valas di luar negeri lebih baik dari dalam negeri.
Meskipun instrumen operasi moneter TD DHE valas yang diluncurkan oleh BI, merupakan salah satu pilihan penempatan DHE di dalam negeri dimana tingkat suku bunga yang ditawarkan cenderung cukup bersaing dengan suku bunga TD valas yang ditawarkan oleh perbankan di luar negeri.
"Namun demikian, bagi perbankan domestik pun dapat menawarkan tingkat suku bunga TD valas yang juga cukup atraktif kepada eksportir secara khusus bagi bank yang memiliki likuiditas valas yang cukup ketat karena pembiayaan valas yang cukup tinggi," ucapnya.
Terkait pelemahan rupiah ini, sebetulnya juga telah menjadi kekhawatiran Sri Mulyani. Kemarin ia telah memperingatkan dampak inflasi tinggi di negara maju terhadap nilai tukar mata uang negara berkembang.
Dalam konferensi pers Komite Stabilitas Sistem Keuangan (KSSK) Sri Mulyani membeberkan bahwa tekanan inflasi di negara maju masih relatif tinggi meskipun saat ini trennya sedang dalam penurunan.
"[Tekanan inflasi] dipengaruhi oleh perekonomian yang masih tetap kuat dan pasar tenaga kerja yang relatif ketat," ungkap Sri Mulyani usai rapat KSSK, Selasa (1/8).
Kondisi tersebut diperkirakan akan kembali mempengaruhi kebijakan moneter negara maju, dengan kenaikan suku bunga acuan, khususnya dari negeri Paman Sam yang belum lama ini baru saja menaikkan policy rate(Federal Fund Rate/FFR) 25 basis poin (bps).
"Perkembangan ini sebabkan aliran modal ke negara-negara berkembang akan menjadi lebih selektif," lanjut Sri Mulyani.
Dengan aliran modal yang semakin selektif maka ada konsekuensi mengerikan lainnya termasuk meningkatkan potensi tekanan terhadap nilai tukar di negara-negara berkembang, termasuk ke Indonesia.
(haa/haa)