
Airlangga: Pasien IMF Kian Banyak, Lampaui Krisis 98!

Jakarta, CNBC Indonesia - Menteri Koordinator Bidang Perekonomian Airlangga Hartarto mengungkapkan dunia kini tengah menghadapi persoalan ekonomi yang besar. Terbukti, puluhan negara sudah menjadi pasien IMF karena permasalahan ekonomi yang semakin kompleks.
Dia mengatakan kondisi ini diketahuinya saat menghadiri Pertemuan Tingkat Kepala Negara Champion Group of the Global Crisis Response Group (GCRG) on Food, Energy, and Finance mewakili Presiden Joko Widodo pekan lalu. Tidak hanya masalah utang, ternyata banyak negara juga dihadapi oleh masalah genting lainnya.
"Itu rapat dengan Sekjen PBB, problem dunia bukan hanya kompleks tapi bertingkat," kata Airlangga dalam acara National Strategic Project di Jakarta, Rabu (26/7/2023).
Adapun, permasalahan yang membuat banyak negara tertekan itu pasca Pandemi Covid-19 di antaranya ancaman perubahan iklim seperti el nino, hingga ketegangan geopolitik yang makin memanas, seperti antar Amerika Serikat dengan China.
Akibat kondisi itu, perwakilan IMF dalam pertemuan GCRG mengungkapkan bahwa sebanyak 30 negara telah menjadi pasien mereka, dan baru 11 negara yang selesai diatasi masalah ekonominya.
Jumlah negara pasien IMF ini menurut Airlangga jauh lebih banyak ketimbang kondisi krisis keuangan pada periode 1997-1998. Saat itu, pasien IMF hanya sekitar 10 negara.
"Jadi sekarang 30 negara menjadi pasien IMF dan 11 baru mulai membaik. Saat krisis Asia 1998 kurang dari 10 negara, tapi kali ini betul-betul pasca pandemi banyak negara jadi pasien," ujarnya.
Kebanyakan negara yang menjadi pasien IMF itu, menurutnya, menghadapi persoalan seperti krisis pangan dan energi. Oleh sebab itu, ia memastikan Indonesia tidak menjadi bagian dari pasien IMF karena tak mengalami krisis pangan dan energi.
"Bahkan di antara negara-negara terbesar dunia G20, Indonesia ke 2 ekonominya, kita tumbuh di 5,03% dan juga inflasi yang terkendali padahal menjadi persoalan utama berbagai negara," ungkapnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article IMF Ungkap Negara 'Korban Baru' Krisis, Situasinya Bahaya
