
Gawat! Banyak Negara Terancam Gagal, Terjebak Lingkaran Setan

Jakarta, CNBC Indonesia - Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau United Nations turut menaruh perhatian kuat terhadap tingginya tingkat utang publik negara-negara di dunia 10 tahun terakhir.
Ini ditandai dengan munculnya kajian berjudul "A World of Debt" yang disusun oleh UN Global Crisis Response Group dan lima UN Regional Commissions pada Juli 2023.
"Separuh dunia kita tenggelam dalam bencana pembangunan, dipicu oleh krisis utang yang menghancurkan. Itulah pesan utama dari laporan yang kami sajikan: A World of Debt," kata Sekretaris Jenderal PBB Antonio Guterres saat konferensi pers peluncuran laporan dikutip Jumat (21/7/2023).
Berdasarkan laporan ini, utang publik secara global telah mencapai US$ 92 triliun pada 2022, naik dari kondisi utang pada 2002 sebesar US$ 17 triliun.
Terkereknya peningkatan utang publik ini dipicu oleh krisis yang melanda dunia beberapa tahun terakhir, seperti Pandemi Covid-19, tingginya biaya hidup, perubahan iklim, serta terbatasnya sumber pembiayaan alternatif.
Kondisi itu membebani keuangan negara-negara berkembang dan negara-negara miskin. 30% dari total utang ini berasal dari negara-negara berkembang dengan tingkat bunga utang lebih tinggi dari negara maju.
Adapun, di Amerika Serikat beban bunga utang yang tergambar dari imbal hasil obligasi negara hanya 3,1% dan di Jerman 1,5%. Sedangkan di Asia dan Oceania 6,5%, Amerika Latin dan Karibia 7,7%, serta Afrika 11,6%.
Jumlah negara yang menghadapi tingkat utang tinggi pun meningkat dari hanya 22 negara pada 2011 menjadi 59 negara pada 2022. Terindikasi dari tingkat utang publik nya dalam mata uang asing di atas 60%.
Guterres juga mengingatkan, 52 negara yang 40%-nya merupakan negara berkembang di garis tengah berada dalam kondisi utang yang serius. Mereka adalah Argentina, Nigeria, Venezuela, Zimbabwe, Tunisia, hingga Tajiksitan sebagaimana termuat dalam laporan UNDP berjudul Development Futures Series.
"Ini adalah salah satu akibat dari ketimpangan yang tertanam dalam sistem keuangan global kita yang sudah ketinggalan zaman, yang mencerminkan dinamika kekuatan kolonial pada era ketika sistem itu diciptakan," tuturnya.
Seperti lingkaran setan atau visicous cycle, krisis utang ini pun membuat negara-negara dunia harus mengalokasikan anggarannya untuk membayar bunga utang ketimbang pendidikan dan kesehatan ataupun investasi.
Kondisi itu tercermin dari belanja untuk pembayaran bunga utang yang tumbuh lebih cepat daripada belanja publik lainnya. Untuk pembayaran bunga utang pertumbuhannya mencapai 60,4%, kesehatan 54,7%, investasi 41,1%, dan pendidikan 40,8%.
Oleh sebab itu, Guterres mengingatkan, sekitar 3,3 miliar orang atau hampir separuh dari total penduduk bumi yang mencapai 7,8 miliar tinggal di negara-negara yang membelanjakan anggarannya lebih banyak untuk pembayaran bunga utang daripada untuk pendidikan atau kesehatan.
"Namun, karena sebagian besar utang yang tidak berkelanjutan ini terkonsentrasi di negara-negara miskin, utang tersebut dinilai tidak menimbulkan risiko sistemik terhadap sistem keuangan global," tegas Guterres.
"Ini adalah fatamorgana. 3,3 miliar orang lebih dari sekadar risiko sistemik, ini adalah kegagalan sistemik. Pasar mungkin tampak belum menderita, belum. Tapi orang-orang (sudah)," ungkapnya.
(haa/haa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article PBB Beberkan Ciri Negara Gagal, Apa Termasuk RI?