Internasional

Perang Rusia-Ukraina Menggila: G20 'Pecah'-Putin Balas Dendam

Tommy Patrio Sorongan, CNBC Indonesia
Rabu, 19/07/2023 09:01 WIB
Foto: REUTERS/KEVIN LAMARQUE

Jakarta, CNBC Indonesia - Peperangan antara Rusia dan Ukraina masih terus berlangsung. Beberapa perkembangan pun terjadi.

Saat ini, kedua negara masih memfokuskan pertempuran di wilayah Timur. Di mana Rusia menginginkan untuk mengambilalih wilayah Donbass secara keseluruhan.


Namun serangan drone bertubi-tubi juga terjadi di beberapa wilayah Ukraina. Di antaranya Odessa, kota pelabuhan pangan penting yang sebelumnya dilindungi perjanjian Black Sea Grain Intiniatives (Kesepakatan Biji-Bijian Laut Hitam), sebagai balas dendam Presiden Valdimir Putin atas serangan di jembatan Krimea.

PBB pun memberi peringatan. Belum lagi G20 yang kini "pecah" soal Rusia-Ukraina. 

Berikut perkembangan terbarunya sebagaimana dirangkum CNBC Indonesia, Rabu (19/7/2023):

1. Putin Balas Dendam

Pemerintah Putin meluncurkan serangan misil dan drone semalam yang disebutnya sebagai "serangan balas dendam massal". Ini terjadi di dua kota pelabuhan Ukraina. 

Hal tersebut diluncurkan satu hari setelah ledakan merusak Jembatan Kerch Krimea. Moskow sendiri menuduh Kyiv bertanggung jawab meski belum ada keterangan dari pemerintahan Presiden Ukraina Volodymyr Zelensky.

Mengutip CNBC International, serangan menargetkan kota Odessa dan Mykolaiv di Ukraina Selatan. Dilaporkan sebuah gudang hancur dan bangunan lainnya rusak.

Perlu diketahui kota-kota ini awalnya dilindungi lewat Kesepakatan Biji-bijian Laut Hitam. Angkatan Udara Ukraina mengatakan meski dibombardir, banyak drone dan rudal yang masuk dicegat oleh pertahanan udaranya.

"Fasilitas di mana tindakan teroris terhadap Federasi Rusia sedang dipersiapkan dengan menggunakan kapal tanpa awak, serta di tempat pembuatannya di galangan kapal dekat kota Odessa," tulis media Rusia TASS membenarkan serangan.

2. "Kiamat" Makanan Dunia

Potensi "kiamat" makanan di dunia makin jadi. Ini setelah Rusia menembakkan serangan rudal dan drone di pelabuhan ekspor biji-bijian.

Ukraina, seperti halnya Rusia, merupakan lumbung pangan dunia, terutama gandum, jagung, jelai dan minyak bunga matahari. Rusia dan Ukraina mengekspor 25% biji-bijian dunia sebelum perang di mana ekspor biji-bijian Ukraina kebanyakan dialirkan ke Timur Tengah dan Afrika.

"Serangan semalam adalah bukti lebih lanjut bahwa negara-teroris ingin membahayakan kehidupan 400 juta orang di berbagai negara yang bergantung pada ekspor makanan Ukraina," papar kepala staf kepresidenan Ukraina, Andriy Yermak, dikutip oleh Reuters.

"Penarikan Rusia dari kesepakatan biji-bijian penting yang diperantarai PBB pada Senin adalah pukulan bagi orang-orang yang membutuhkan," kata Pemerintah Amerika Serikat (AS).

Sementara itu, tak dilanjutkannya kesepakatan laut Hitam sudah membuat kenaikan harga pangan global. Gandum berjangka melonjak 3% Senin, mencapai level tertinggi 689,25 sen per gantang, level tertinggi sejak 28 Juni ketika kontrak diperdagangkan setinggi 706,25 sen.

Jagung berjangka melonjak hingga setinggi 526,5 sen per gantang. Sementara kedelai berjangka naik ke level 1.388,75 sen per gantang.

Seorang spesialis dalam perdagangan global di University of St. Gallen, Simon J. Evenett, mengatakan bahwa penarikan Rusia mencerminkan "coup de grace". Ini kata dia, menjadi klimaks dari situasi yang memburuk.

"Hilangnya Kesepakatan Laut Hitam merupakan pukulan bagi negara-negara yang mencari gandum Ukraina yang lebih murah. Selama ini tidak memicu banyak larangan ekspor, matinya kesepakatan itu (menjadi) gangguan kecil," kata Evenett melalui email dikutip CNBC Internasional.

"Ke depan yang penting adalah apakah Rusia mempersenjatai ekspor gandum. Selama siklus panen terakhir dan saat ini, Rusia adalah pemasok terbesar dunia, mengekspor sekitar 45 juta metrik ton," tambahnya.

Sementara itu, Direktur Kedaruratan Afrika Timur di Komite Penyelamatan Internasional (IRC), Shashwat Saraf, mengatakan dampaknya akan sangat besar di Somalia, Ethiopia dan Kenya, yang telah menghadapi kekeringan terburuk dalam beberapa dekade.

"Saya tidak tahu bagaimana kami akan bertahan," kata Halima Hussein, seorang ibu dari lima anak yang tinggal di kamp di ibu kota Somalia, Mogadishu

3. Afsel Beri Peringatan Perang 

Presiden Afsel Cyril Ramaphosa memberi peringatan perang. Ini terkait upaya menangkap Putin saat ia hadir di pertemuan puncak BRICS bulan depan di Johannesburg.

Putin adalah subjek surat perintah penangkapan oleh Pengadilan Kriminal Internasional terkait dugaan kejahatan perang selama invasi Rusia ke Ukraina. Sebagai penandatangan Statuta Roma yang membentuk ICC, Afsel wajib menangkap Putin jika ia mengunjungi negara Afrika itu.

Partai oposisi politik terbesar di Afsel, Aliansi Demokratik, telah mencoba memaksa pemerintahan Ramaphosa untuk berjanji akan menangkap pemimpin 70 tahun itu. Bahkan tindakan dilakukan dihadapan Pengadilan Tinggi di Pretoria.

Namun dalam surat pernyataan tegas kepada pengadilan, yang diumumkan pada hari Selasa, Ramaphosa menegaskan kembali pernyataannya bahwa tindakan seperti itu tidak bisa dilakukan. Ini malah berarti perang baru dan dapat menggagalkan upaya untuk mengakhiri konflik di Ukraina.

"Saya harus menggarisbawahi, demi transparansi, bahwa Afsel memiliki masalah yang jelas dalam melaksanakan permintaan untuk menangkap dan menyerahkan Presiden Putin," katanya.

4.Korban Sipil Perang Rusia-Ukraina

Komisaris Tinggi PBB untuk Kantor Hak Asasi Manusia, atau OHCHR, mengatakan bahwa lebih dari 16.300 warga sipil telah terluka sejak dimulainya perang Rusia di Ukraina tahun lalu. Badan itu juga mengatakan bahwa lebih dari 9.200 warga sipil tewas akibat perang.

OHCHR menambahkan bahwa kematian dan cedera kemungkinan lebih tinggi karena ketidakmampuan untuk mengakses kota-kota di bawah pendudukan Rusia serta keterlambatan pelaporan karena konflik bersenjata.

5. G20 "Pecah"

Pertemuan para menteri G20 di India berakhir setelah dua hari pembahasan kebijakan ekonomi dan keuangan tanpa komunike bersama. Ini terjadi saat negara-negara tetap terbagi atas perang di Ukraina.

Kelompok tersebut telah beberapa kali gagal mencapai posisi bersatu dalam perang di Ukraina. Anggota aliansi Barat, serta mitra seperti Jepang dan Korea Selatan, telah secara vokal mengutuk Rusia atas serangan besar-besaran terhadap tetangganya.

Di sisi lain, negara-negara lain seperti India, China, Afsel, dan Rusia sendiri menentang mengutuk Moskow. Delhi, yang menjadi negara tuan rumah pertemuan G20 pekan ini, telah menahan diri untuk tidak menyalahkan Rusia atas perang tersebut dan menyerukan resolusi diplomatik, sementara juga membeli minyak dengan potongan harga dari Moskow.

Bagian dari ketidaksepakatan atas bahasa komunike juga berasal dari penggunaan kata "perang", yang dihindari oleh beberapa negara. Rusia menyebut peperangan itu, yang sekarang hampir berusia dua tahun, sebagai "operasi militer khusus".


(sef/sef)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Putin Makin Terdepan, Rusia Rebut Kota Chasiv Yar Ukraina