Jebakan Utang China & 'Bom Waktu' Malapetaka Dunia
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis utang melanda dunia. Hal ini dirasakan oleh negara-negara berpenghasilan menengah ke bawah usai pandemi Covid-19.
Mayoritas negara berkembang berpendapatan rendah saat ini sudah atau hampir mengalami tekanan utang. Tak hanya itu, dua kekuatan ekonomi besar dunia, Amerika Serikat (AS) dan China, diperkirakan akan mengalami lonjakan utang publik mereka pada tingkat yang lebih tinggi daripada sebelum pandemi.
Zambia pada 2020 telah menjadi negara Afrika pertama yang gagal bayar utang negaranya setelah kehancuran akibat Covid-19. Di Paris, pemberi pinjaman terbesarnya termasuk China dan negara-negara Barat setuju untuk merestrukturisasi US$ 6,3 miliar (Rp 95 triliun) pinjaman Zambia di bawah prakarsa yang didorong oleh G20.
Namun, setelah berterima kasih kepada Prancis, China, Afrika Selatan, yang memainkan peran kunci dalam negosiasi, Presiden Zambia Hakainde Hichilema memberikan peringatan. Butuh lebih dari dua tahun pembicaraan untuk persetujuan rencana restrukturisasi utang Zambia.
"Setiap hari kami tidak mengirimkan barang-barang yang berada dalam kendali kami, pada dasarnya kami meningkatkan biaya dan kerusakan bertambah," katanya, dikutip Al Jazeera, Rabu, (12/7/2023).
Ghana dan Sri Lanka gagal membayar utang luar negeri mereka pada 2022, dua tahun setelah Zambia melakukannya. Pakistan dan Mesir berada di ambang default.
Pada 30 Juni, Pakistan memperoleh kesepakatan pendanaan tentatif sebesar US$ 3 miliar (Rp 45 triliun) dengan Dana Moneter Internasional (IMF), yang menjanjikan potensi bantuan jangka pendek.
Tingkat utang publik global tetap tinggi, sebesar 92% dari produk domestik bruto (PDB) pada akhir tahun 2022. Meski begitu, ini turun dari tingkat rekor yang terlihat selama pandemi Covid-19, ketika menyentuh 100% dari PDB pada akhir tahun 2020.
Pandemi Covid-19 menghancurkan aktivitas ekonomi secara global, menyebabkan kekurangan pendapatan dan peningkatan pengeluaran oleh pemerintah. Akibatnya, utang publik global melonjak tertinggi dalam setahun dari 84% PDB pada akhir 2019 menjadi 100% setahun kemudian.
Negara-negara miskin, yang paling terpukul oleh krisis kesehatan masyarakat, harus lebih bergantung pada pinjaman eksternal untuk bertahan hidup. Sekitar 60% dari negara-negara berkembang berpendapatan rendah sekarang berada dalam risiko tinggi atau kesulitan utang dan telah, atau akan memulai, proses restrukturisasi utang.
Situasi utang diperparah oleh serangan besar-besaran Rusia ke Ukraina pada Februari 2022, yang menyebabkan kenaikan harga komoditas dan pangan global.
"Sekarang, kebangkitan inflasi berarti bank sentral utama telah menaikkan suku bunga, membuat biaya pembayaran utang menjadi mahal dan ini menjadi masalah bagi negara berpenghasilan rendah dan menengah," ujar Ugo Panizza, seorang profesor ekonomi di Jenewa berbasis Graduate Institute of International and Development Studies, kepada Al Jazeera, dikutip Rabu, (14/7/2023).
Secara keseluruhan, 52 negara berkembang, rumah bagi separuh populasi dunia yang hidup dalam kemiskinan ekstrem, menghadapi masalah utang yang parah dan biaya pinjaman yang tinggi.
Di sisi lain, nilai dolar menguat selama tahun 2022 dibandingkan dengan sebagian besar mata uang ekonomi berkembang dan maju karena permintaan investor terhadap mata uang AS tumbuh, dipandang sebagai aset yang aman.
Hal ini, pada gilirannya, membuat makin mahal bagi negara-negara berpenghasilan rendah dan menengah untuk memenuhi kewajiban utang mereka karena sebagian besar pinjaman lintas batas dan utang internasional dalam mata uang dolar AS.
"Banyak likuiditas global yang muncul untuk refinancing adalah dalam dolar dan jika mata uang Anda memburuk, seperti yang terjadi dalam kasus Ghana, di mana cedi (mata uang Ghana) runtuh, kemampuan Anda untuk memenuhi pembayaran utang sangat merusak," pungkas Judith Tyson, seorang peneliti keuangan di Overseas Development Institute (ODI).
Secara tradisional, negara-negara miskin terutama meminjam dari apa yang disebut Paris Club of creditors, kebanyakan dari negara-negara kaya seperti AS, Inggris, Australia dan Jerman, serta lembaga multilateral seperti Bank Dunia, IMF atau Bank Pembangunan Afrika.
Namun, selama 20 tahun terakhir, China dan pemegang obligasi swasta telah menjadi pemberi pinjaman yang signifikan bagi negara-negara berpenghasilan rendah.
China memegang lebih dari setengah utang luar negeri Zambia. Sri Lanka berutang lebih dari 10% pembayaran kepada Beijing. Bahkan, untuk lebih dari setengah dari 73 negara yang menjadi bagian dari Inisiatif Penangguhan Layanan Utang G20, China sekarang memegang posisi kreditur bilateral terbesar.
Untuk mengintegrasikan kreditur seperti China, G20 membentuk "kerangka kerja bersama" pada 2020 untuk mengkoordinasikan perlakuan utang bagi negara-negara berpenghasilan rendah antara Paris Club dan kreditor bilateral besar lainnya seperti seperti Beijing serta India, dan Arab Saudi.
Walau begitu, kerangka ini tidak begitu sukses diimplementasikan. Para ahli menilai ini dikarenakan kerangka kerja ini mengikuti pendekatan langkah demi langkah yang pernah dikerjakan Paris Club.
Dalam pelaksanaan ala Paris Club, negara pengutang memulai proses restrukturisasi, yang diikuti dengan program reformasi ekonomi yang didukung oleh IMF. Negara yang berutang sepenuhnya mengungkapkan semua komitmen pinjamannya.
Tetapi, hal ini tidak dapat diikuti China. Pasalnya, Beijing tidak mau mendelegasikan keputusan restrukturisasi utangnya melalui lembaga seperti IMF.
"Kerangka kerja belum benar-benar mempertimbangkan bagaimana membawa China sepenuhnya ke dalam gambaran," Thomas Laryea, pakar hukum dan kebijakan internasional di firma hukum Orrick, Herrington & Sutcliffe yang berbasis di AS.
"Kerangka umum memiliki maksud untuk melakukan itu tetapi salah satu kelemahannya adalah bahwa itu dirancang di sekitar proses Paris Club lama dan itu, menurut saya, adalah kesalahan desain."
(luc/luc)