
Hilirisasi Batu Bara di Mata Bos Bayan, Sudah Ideal?

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur PT Bayan Resources Tbk (BYAN) Alexander Ery Wibowo menilai proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl eter (DME) butuh kepastian. Salah satunya, mengenai harga yang ditentukan.
Menurut Alex, tujuan awal pengembangan DME diharapkan dapat mengurangi ketergantungan terhadap impor Liquefied Petroleum Gas (LPG) yang selama ini cukup membebani keuangan negara.
Namun, agar proyek DME ini bisa berjalan dan nilai keekonomian bisnis ini tercapai, mau tidak mau menurutnya pemerintah harus memberikan subsidi untuk proyek DME ini.
"Sehingga tercapai nilai harga yang memang bisa membuat si produsen survive dan masyarakat nggak terbebankan. Jadi memang, kalau tujuannya untuk menggantikan LPG, saya pikir idealnya (subsidi), kalau enggak tidak akan terjadi keseimbangan antara nilai produksi dengan harga beli," papar Alex dalam acara Economic Update 2023 CNBC Indonesia, Selasa (11/7/2023).
Apalagi, menurut Alex, dari sisi pasar, pengembangan DME masih belum ada kepastian. Oleh karena itu, hal ini membuat investor akan lebih berhati-hati dalam terjun ke bisnis baru tersebut.
"Saat ini marketnya masih belum ada kepastian saya pikir, berapa offtaker-nya, siapa offtaker-nya, berapa harganya. Karena ini investasinya besar, itu kan harus kita lihat, sebagai pengusaha ini bisa melihat kapan ini balik modal," kata dia.
Seperti diketahui, rencana pemerintah mengimplementasikan proyek gasifikasi batu bara menjadi dimethyl eter atau DME rupanya menemui tantangan yang cukup besar. Pasalnya, produk yang rencananya bakal menggantikan LPG ini dinilai masih belum ekonomis untuk dikembangkan.
Plh Direktur Eksekutif Indonesia Mining Association (IMA) Djoko Widajatno sempat menyampaikan pada saat perusahaan petrokimia asal Amerika Serikat, Air Products, dan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) melakukan kajian untuk proyek ini, harga batu bara masih berada di level US$ 27-28 per ton. Sementara harga batu bara saat ini sudah mencapai di level US$ 130-an per ton.
Menurut Djoko, apabila tetap dipaksakan negara akan menanggung rugi hingga US$ 377 juta atau Rp 5,80 triliun per tahunnya. Hal tersebut berdasarkan kajian yang telah dibuat oleh Non Governmental Organization (NGO) dunia.
"Ini sudah dikritik NGO dunia yang mengatakan kalau itu dipaksakan kita akan mengalami kerugian US$ 377 juta per tahun dan itu sudah awal diceritakan, tentunya mereka berbicara berdasarkan statistik yang dibuat dan memang batu bara itu pada akhirnya mengalami kenaikan secara eksponensial," ujar Djoko dalam acara Mining Zone CNBC Indonesia, Kamis (16/3/2023).
Oleh sebab itu, ini menjadi salah satu kemungkinan Air Products and Chemicals Inc keluar dari proyek kerja sama hilirisasi batu bara di Indonesia.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS Hengkang dari DME RI Saat Jokowi Persiapkan "Amunisi"
