RI Kecolongan 5 Juta Ton Nikel Tanda Aksi Jokowi Gak Efektif?

Verda Nano Setiawan, CNBC Indonesia
Selasa, 04/07/2023 16:50 WIB
Foto: REUTERS/Yusuf Ahmad

Jakarta, CNBC Indonesia - Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai kebijakan larangan ekspor mineral mentah untuk program hilirisasi di dalam negeri rupanya kurang efektif. Pasalnya, pemerintah masih kecolongan dengan adanya ekspor ilegal bijih nikel ke Tiongkok.

Bhima berpendapat, alih-alih menutup keran ekspor mineral mentah, sebaiknya pemerintah tetap membuka keran ekspor dengan mempertimbangkan skema tarif atau bea keluar yang lebih tinggi. Misalnya, untuk ekspor bijih nikel lebih tinggi dibandingkan dengan besaran pajak ekspor untuk feronikel (FeNi) dan Nickel Pig Iron (NPI).

Sementara, bagi produk nikel yang menghasilkan produk berupa stainless steel dan baterai (EV) bisa mendapatkan keringanan, atau bahkan pembebasan bea keluar. Dengan demikian, cara-cara hilirisasi seperti ini dinilai lebih produktif dibandingkan pelarangan ekspor total.


"Pelarangan total ekspor bijih ternyata juga tidak efektif, karena masih banyak pintu ekspor bijih secara ilegal seperti temuan KPK itu. Ada catatan yang beda antara yang diekspor oleh Indonesia dengan yang tercatat dengan bea cukai yang ada di Tiongkok dan itu merugikan negara cukup besar jadi buat apa begitu? lebih baik adanya tarif berjenjang tergantung dengan nilai tambah yang dihasilkan," jelas Bhima kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/7/2023).

Selain itu, program hilirisasi dengan pelarangan ekspor bijih nikel menurutnya justru lebih banyak merugikan Indonesia. Sebab, hal ini hanya akan meningkatkan nilai tambah negeri panda yang juga berfokus menggenjot program hilirisasi.

"Nanti kita impor lagi komponen mobil listriknya dari China jadi rantai pasok Indonesia sebenarnya juga tidak dibilang pasca pelarangan total mencapai hilirisasi yang sempurna ternyata gak juga kita mengekspor barang setengah jadi. Dan itu bukan bagian dari hilirisasi yang diharapkan," katanya.

Sebelumnya, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) membeberkan adanya dugaan kasus ekspor ilegal bijih nikel RI ke China sejak 2021 lalu. Tak tanggung-tanggung, sebanyak 5 juta ton bijih nikel RI diduga telah diselundupkan ke Negeri Tirai Bambu sejak 2021-2022.

Padahal, seperti diketahui, Pemerintah Indonesia telah resmi melarang ekspor bijih nikel sejak 2020 lalu.

Ketua Satgas Koordinasi Supervisi Wilayah V KPK Dian Patria menyebut, informasi dugaan ekspor ilegal bijih nikel tersebut berasal dari Bea Cukai China.

"Data ini sumbernya dari Bea Cukai China," ujar Dian, dikutip dari CNNIndonesia.com, Jumat (23/6/2023).

Sementara itu, Direktur Komunikasi dan Bimbingan Pengguna Jasa Bea Cukai Nirwala Dwi Heryanto mengatakan, pihaknya sudah berhasil mengantongi 85 Bill of Lading (BL) yang diduga terkait dengan dugaan ekspor ilegal bijih nikel tersebut.

Bill of Lading atau konosemen yaitu surat tanda terima barang yang telah dimuat di dalam kapal laut sebagai bukti adanya kontrak atau perjanjian pengangkutan barang melalui laut (contract of carriage). Adapun ke-85 BL tersebut dikonfirmasi ulang ke pihak Bea Cukai China.

Nirwala mengatakan, pihaknya sudah mengonfirmasikan 85 BL tersebut kepada pihak Bea Cukai China, General Administration of Customs China (GACC).

Nirwala juga mengatakan bahwa pihaknya akan meneliti daftar pelaku tersebut bersama dengan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).

"Kita terus terang kita juga sudah lakukan konfirmasi ke China Custom ada sekitar 85 BL yang kita konfirmasi ke GACC, tentunya di situ kita kembangkan dan kita teliti lebih lanjut bersama teman-teman KPK," beber Nirwala kepada CNBC Indonesia dalam program Mining Zone, dikutip Selasa (27/6/2023).


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Polemik Tambang Nikel Raja Ampat, Bahlil Ungkap "Titah" Prabowo