
Hilirisasi Jokowi Rawan Diserang Dunia, Ini Alasannya

Jakarta, CNBC Indonesia - Kebijakan hilirisasi komoditas, utamanya komoditas tambang, yang digenjot Pemerintahan Presiden Joko Widodo (Jokowi) kini mendapatkan serangan bertubi-tubi dari dunia internasional.
Setelah sebelumnya sempat digugat Uni Eropa di Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) karena kebijakan larangan ekspor bijih nikel pada 2020 lalu, kini 'serangan' terbaru datang dari Dana Moneter Internasional (IMF).
IMF tiba-tiba mengeluarkan pernyataan bahwa Indonesia perlu mempertimbangkan penghapusan secara bertahap kebijakan larangan ekspor nikel dan tidak memperluasnya untuk komoditas lain.
IMF juga meminta agar program hilirisasi di Indonesia dikaji ulang, terutama dari sisi analisa biaya dan manfaat. Menurut lembaga internasional pemberi utang tersebut, kebijakan hilirisasi merugikan Indonesia.
Lantas, mengapa kebijakan Presiden Jokowi ini rentan diserang dunia?
Direktur Center of Economic and Law Studies (Celios) Bhima Yudhistira menilai permintaan IMF tersebut bukan tanpa sebab. Pasalnya, program hilirisasi erat kaitannya dengan proteksionisme dagang.
Sementara, proteksionisme dagang yang dilakukan Indonesia selain mendisrupsi rantai pasok global, juga berpotensi mengalami serangan balik dari negara-negara lain yang merasa dirugikan.
"Sebenarnya yang menjadi titik kritisnya itu adalah hilirisasi cenderung kaitannya dengan proteksionisme dagang dan proteksionisme dagang ini selain mendisrupsi rantai pasok global, juga berpotensi mengalami serangan balik atau retaliasi dagang negara-negara yang merasa dirugikan dan itu juga cukup mahal," kata dia kepada CNBC Indonesia, Selasa (4/7/2023).
Menurut Bhima, apabila Pemerintah Indonesia ingin serius menggenjot program hilirisasi, sah-sah saja hal itu dilakukan. Namun dengan syarat, hal tersebut dapat meningkatkan nilai tambah dan daya saing yang signifikan.
"Tapi hilirisasi yang ideal adalah hilirisasi dengan menggunakan skema tarif ataupun bea keluar yang lebih tinggi untuk bijih nikel. Sementara untuk feronikel, pig iron karena baru setengah jadi itu diberikan tarif yang lebih rendah," ujarnya.
Seperti diketahui, IMF sebelumnya meminta kepada Presiden Jokowi untuk mempertimbangkan pelonggaran pembatasan ekspor nikel dan komoditas lainnya. Pasalnya, IMF berpendapat kebijakan larangan ekspor nikel bisa menimbulkan kerugian bagi penerimaan negara yakni RI dan berdampak negatif bagi negara lain.
Permintaan tersebut mereka sampaikan dalam IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia yang dikeluarkan Minggu (25/6/2023).
"Biaya fiskal dalam hal penerimaan (negara) tahunan yang hilang saat ini tampak kecil dan ini harus dipantau sebagai bagian dari penilaian biaya-manfaat ini," kata IMF dalam laporannya Article IV Consultation, dikutip Selasa (27/6/2023).
Oleh sebab itu, IMF mengimbau adanya analisa rutin mengenai biaya dan manfaat hilirisasi. Analisa ini harus diinformasikan secara berkala dengan menekankan pada keberhasilan hilirisasi dan perlu atau tidaknya perluasan hilirisasi ke jenis mineral lain.
"Kebijakan industri juga harus dirancang dengan cara yang tidak menghalangi persaingan dan inovasi, sambil meminimalkan efek rambatan lintas batas yang negatif," tambahnya.
Dengan demikian, IMF menilai otoritas harus mempertimbangkan kebijakan hilirisasi dalam negeri yang lebih tepat untuk mencapai tujuannya dalam meningkatkan nilai tambah produksi.
"Meningkatkan nilai tambah dalam produksi, dengan menghapus secara bertahap pembatasan ekspor dan tidak memperluas pembatasan untuk komoditas lain," paparnya.
(wia)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article RI Kalah di WTO, Jokowi Siap Maju hingga Tetes Darah Terakhir