Ada Udang di Balik Batu Eropa, RI Tak Boleh Mundur Soal Nikel

Wiji Nur Hayat, CNBC Indonesia
Selasa, 04/07/2023 13:55 WIB
Foto: Pabrik nikel terbesar di dunia yang dimaksud yaitu pabrik nikel sulfat yang merupakan bahan utama penyusun prekursor katoda baterai kendaraan listrik. Pabrik nikel sulfat ini berada di Pulau Obi, Kabupaten Halmahera Selatan, Maluku Utara. (Dok. Harita Group Pulau Obi)

Jakarta, CNBC Indonesia - Indonesia diminta tidak goyah soal sikap Uni Eropa yang bombardir produk sawit itu. Kebijakan yang dimaksud adalah Undang Undang Deforestasi atau EU Deforestation-Free Regulation (EUDR) yang berlaku sejak 16 Mei 2023.

Disinyalir, ada misi rahasia yang dijalankan UE dengan memberlakukan kebijakan tersebut. Termasuk agar Indonesia bisa melonggarkan kebijakan larangan ekspor bijih nikel.

Hal ini diungkapkan LPEM FEB Universitas Indonesia dana risetnya. Apabila UE melakukan negosiasi terkait EUDR ini, LPEM UI meminta Indonesia perlu mengantispasi kemungkinan permintaan UE sebagai kompensasi.


Misalnya agar Indonesia melakukan relaksasi larang ekspor nikel dan bauksit, serta kemudahan partisipasi perusahaan asing dalam pengadaan barang dan jasa pemerintah (PBJ) yang nilainya mencapai lebih dari Rp 1.000 triliun tiap tahunnya.

"Permasalahan EUDR sebaiknya tidak dikaitkan/ditukar dengan relaksasi ekspor nikel dan alumina. Juga sebaiknya tidak dikaitkan dengan kebijakan PBJ, karena PBJ harus tetap dapat mempriroitaskan pada produsen dalam negeri, khususnya fokus pada kemampuan UMKM untuk menjadi vendor PBJ. Dengan demikian target 40% partisipasi UMKM dalam PBJ akan tercapai," ungkap LPEM UI, Selasa (4/7/2023).

Sementara itu, dari penelitian yang dilakukan LPEM UI, regulasi EUDR ini didorong sebagai upaya UE untuk menekan defisit neraca perdagangan terhadap negara berkembang sekaligus melindungi produsen barang substitusinya di internal wilayah UE. Indonesia secara langsung terkena imbas dari kebijakan EUDR ini terutama produk-produk sawit, daging, kopi, kayu, kakao, karet, kedelai, serta produk turunannya.

Foto: Ist
Eksor Perdana Nikel Sulphate

Adapun defisit perdagangan antara UE dengan Indonesia terus meningkat yaitu US$ 10,5 miliar di 2020 dan meningkat menjadi US$ 14,6 miliar pada 2021. Kembali meningkat menjadi US$ 21,4 miliar pada 2022.

"Tantangan terbesar bagi Indonesia tentunya dalam ekspor minyak kelapa sawit (CPO), sebagai eksportir terbesar di dunia. Tabel 1 menunjukkan produk utama Indonesia yang diekspor ke EU adalah CPO dan berbagai produk turunannya (HS 1511 dan HS 3823) yang pada 2022 lalu nilainya mencapai US$ 4,9 miliar. Meskipun volume ekspor CPO Indonesia ke UE sudah terus menurun sejak tahun 2018 sebagai dampak dari RED II (dari 3,8 juta ton pada 2018 ke 2,2 juta ton pada 2022), tetapi dari segi nilai ekspor defisit UE tetap besar karena meningkatnya harga CPO dunia," sebutnya.

Untuk itu, Indonesia perlu membawa isu ini ke meja perundingan Indonesia-EU CEPA. EUDR akan menjadi salah satu strategi/bargaining chip UE untuk negosiasi terhadap Indonesia.

"Indonesia dapat menegosiasikan cut-off deforestasi (saat ini berada di tanggal 31 Desember 2020) untuk menunjukkan capaiannya dalam mengurangi deforestasi," imbuhnya.

Dalam hal penurunan deforestasi, capaian Indonesia cukup baik, dimana pada periode 2019-2020 terjadi penurunan sebesar 75,03%, periode 2021-2022 turun 8,4%. Kemudian, Indonesia juga dapat mengaitkan industri sawit nasional dengan capaian SDGs, agenda internasional yang tentunya sangat didukung UE.

Studi LPEM UI tahun 2019 menunjukkan bahwa setiap 10% peningkatan area perkebunan sawit akan tercipta 1,8% peningkatan pendapatan per kapita, mengurangi tingkat kemiskinan 0,05% dan tingkat pengangguran 0,02%.


(wur/wur)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ahli UGM Sebut Kerugian Tambang Raja Ampat Lampaui Kasus Timah