CNBC Insight

Buat Menteri Jokowi Berang, Nih Jejak Kelam IMF di Indonesia

Muhammad Fakhriansyah, CNBC Indonesia
Senin, 03/07/2023 13:40 WIB
Foto: CNBC

Jakarta, CNBC Indonesia - International Monetary Fund (IMF) merilis dokumen berjudul "IMF Executive Board Concludes 2023 Article IV Consultation with Indonesia", pada 25 Juni 2023. Dalam laporan tersebut IMF meminta pemerintah mempertimbangkan penghapusan bertahap kebijakan hilirisasi untuk meningkatkan nilai tambah produksi. 

Sebagai reaksi, Menteri Investasi/Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM) Bahlil Lahadalia tidak terima atas pertimbangan IMF itu. Bahlil menyebut kebijakan hilirisasi Indonesia sudah harga mati dan telah berhasil menguntungkan negara hingga US$ 30 miliar atau Rp 450 triliun. 

Intervensi IMF terhadap Indonesia sebenarnya bukan kali ini saja terjadi. Jika kita membuka buku sejarah, maka bukan kali ini saja IMF melakukan hal tersebut. Sejak kemerdekaan, IMF beberapa kali ikut campur urusan Indonesia dan terkadang menimbulkan konflik dan jejak berdarah.


Soekarno anti-IMF

Perkenalan pertama Indonesia dengan IMF dan institusi ekonomi serupa bernama Bank Dunia terjadi pada tahun 1954. Indonesia meresmikan hubungannya lewat UU No. 5 Tahun 1954 tentang Keanggotaan Republik Indonesia dari IMF dan IBRD (nama lama Bank Dunia). 

Amiruddin Al-Rabab dalam Ekonomi Berdikari Sukarno (2014) menyebut lewat regulasi tersebut, IMF pernah datang ke Indonesia untuk memberikan masukan atas krisis yang mendera pada 1962. IMF ingin Indonesia melakukan liberalisasi ekonomi, seperti pengetatan fiskal dan kredit, serta penghapusan subsidi. Dengan cara ini ditambah bantuan US$ 30 Juta, IMF percaya inflasi ratusan persen saat itu di Indonesia bisa teratasi dan Soekarno pun tetap bisa melakukan politik mercusuar-nya. 

Namun, pandangan politik dan ekonomi Sukarno jelas tak memberikan tempat untuk masukan IMF. Soekarno yang pernah menyerang AS dengan kalimat "Go to hell with your aid!" jelas menolak mentah-mentah saran IMF tersebut. 

Dalam pandangan proklamator itu, tulis Rex Mortimer dalam Indonesian Communism Under Sukarno (1974), saran IMF tersebut diartikan sebagai upaya mengacak-acak kondisi Indonesia yang saat itu sedang berselisih dengan negara Barat usai Konfrontasi Indonesia-Malaysia. Soekarno yang anti-imperialisme Barat juga membuatnya anti-IMF. Dari sini, api perselisihan pun muncul dan kian membara. Puncaknya, Soekarno secara resmi menarik bantuan pada Agustus 1965, 2 bulan sebelum kekuasaannya runtuh. 

Soeharto, sahabat mesra IMF

Rezim berganti, pandangan politik juga berubah. Presiden baru Indonesia, yakni Jenderal Soeharto, lebih terbuka terhadap negeri Barat. Akibatnya, di sektor ekonomi, kebijakannya pun meniru langkah mereka, yakni liberalisasi ekonomi.

Setahun setelah berkuasa, Soeharto menyatakan diri bergabung kembali dengan IMF. Dan di tahun yang sama dia membuka pintu investasi bagi negara asing lewat UU No.1 Tahun 1967. 

Jan Luiten van Zanden dan Daan Marks dalam Ekonomi Indonesia 1800-2010 (2012) mengungkap, sebagai reaksi kebijakan Indonesia ini, dunia juga menyambutnya dengan membentuk IGGI (Inter-Governmental Group on Indonesia). IGGI adalah organisasi internasional yang beranggotakan negara barat, IMF dan Bank Dunia yang khusus membantu pemulihan ekonomi Indonesia. Berkat bantuan IGGI, ekonomi Indonesia juga berjalan positif: Inflasi terkendali dan pertumbuhan ekonomi meroket.

Kendati demikian, ada kecacatan dalam penggunaan bantuan tersebut. Eric Toussaint dalam The World Bank: A Critical Primer (2007) menyebut, pada 11 Februari 1972 IMF-Bank Dunia sudah mencium tingkah korupsi pemerintah yang menyalahgunakan dana bantuannya. Kedua lembaga melihat bahwa bantuan yang ada justru tidak dimanfaatkan untuk kepentingan rakyat, tetapi dialihkan untuk kepentingan sekelompok orang. Meski begitu, keduanya tidak menghentikan bantuan, tetapi terus melanjutkan pinjaman tanpa alasan jelas.

Keterlibatan paling jauh IMF-Bank Dunia di ekonomi Indonesia terjadi lagi di tahun 1997. Kala itu, tulis M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009), krisis ekonomi yang melanda membuat Indonesia menerima tekanan dari AS dan Jepang untuk menerima bantuan IMF berupa dana sebesar US$ 43 miliar dan paket kebijakan ekonomi. 

Indonesia pun manut, tetapi kenyataannya itu semua gagal total. Agus Widarjono dalam Evaluasi Kritis Kinerja IMF dalam Krisis Asia (2003) menyebut resep dan paket pemulihan ekonomi IMF pada kenyataannya tidak cocok diterapkan. Sang dokter (IMF) faktanya salah memberikan diagnosis dan obat terhadap pasiennya.

IMF melihat masalah Indonesia dari kacamata Barat yang sama sekali keliru. Dalam kasus subsidi BBM, misalnya, Agus menyebut paket ekonomi IMF mengharuskan Indonesia mencabut subsidi. Indonesia setuju dan ikut sarannya. Namun, alih-alih terjadi perbaikan, pengurangan subsidi BBM justru telah menyebabkan kerusuhan sosial dan politik, sehingga tidak sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi itu sendiri.

"IMF bukan menyelamatkan perbankan, tetapi mendorong ke arah kehancuran. Resep yang kurang pas ini mengakibatkan negara-negara yang menjadi pasien IMF ekonominya semakin parah," tulis Agus.

Akibat bantuan IMF, Indonesia sendiri mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar -13,3%, kredit macet mencapai 48,6%, dan nilai investasi menjadi -33%. Bahkan utang Indonesia untuk ukuran tahun 1998 sangat menggunung, yakni mencapai US$ 137,42 miliar. Kegagalan bantuan ekonomi IMF ini kemudian merembet pada masalah politik hingga kerusuhan besar yang berbuntut pada turunnya Soeharto dari kursi kepresidenan. 

Memasuki masa reformasi, bantuan IMF pun tidak lagi berjalan. Pemerintah mulai melunasi utang-utang kepada IMF dan mengurangi kerjasama dengan organisasi itu. Puncaknya terjadi di era Presiden Megawati yang mengakhiri program reformasi kerjasama dengan IMF pada 2003. Dan tiga tahun kemudian, Indonesia secara resmi sukses melunasi utangnya kepada IMF setelah puluhan tahun. 


(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Hilirisasi Nikel Jadi Kunci RI Bangun Industri Berkelanjutan