Taiwan hingga Jerman Resmi Resesi, Indonesia Aman Gak?
Jakarta, CNBC Indonesia - Tekanan perlambatan ekonomi global semakin intens. Pertumbuhan global melambat tajam dan risiko tekanan keuangan di pasar negara berkembang dan ekonomi berkembang meningkat di tengah kenaikan suku bunga global.
Bank Dunia memperkirakan pertumbuhan global diproyeksikan melambat dari 3,1% pada 2022 menjadi 2,1% pada 2023. Tampaknya pembukaan kembali China tidak memberikan efek besar. Saat ini, dari data yang dirangkum Tim Riset CNBC Indonesia, ada sebanyak 8 negara dunia yang jatuh ke jurang resesi teknis.
Negara tersebut yaitu, Rusia, Ukraina, Moldova, Taiwan, Selandia Baru, Chili, Chad dan Jerman.
Terbaru,Selandia Baru resmi mengalami resesi teknis, Kamis (15/6/2023). Produk domestik bruto (PDB) negeri itu turun 0,1% pada kuartal pertama (Q1) 2023 setelah bank sentralnya memulai salah satu siklus kenaikan suku bunga paling agresif di dunia.
Adapun, Resesi bisa diartikan penurunan ekonomi selama dua kuartal atau lebih, berturut-turut, dalam satu tahun.
"Ekonomi Selandia Baru berada di tengah-tengah pelambatan kebijakan yang diperlukan setelah pemulihan pasca-pandemi yang kuat," kata Dana Moneter Internasional (IMF) dalam pernyataan Rabu Jelang rilis PDB mengutip CNBC International.
IMF juga memperingatkan terhadap bank sentral yang beralih ke langkah-langkah pelonggaran kebijakan moneter. Di mana lembaga itu menyebut Wellington masih harus membiarkan pintu terbuka untuk kenaikan suku bunga lebih lanjut.
Lantas bagaimana nasib Indonesia?
World Bank atau Bank Dunia memproyeksikan pertumbuhan ekonomi di Indonesia tahun 2023 akan melambat menjadi 4,9%, dari 5,3% tahun lalu. Secara umum, pertumbuhan ekonomi negara akan berada di kisaran yang sama dalam jangka menengah.
Bank Dunia mengatakan bahwa pertumbuhan akan didukung oleh konsumsi swasta seiring berkurangnya tekanan inflasi. Sementara pertumbuhan ekspor juga akan mengalami penurunan bersama dengan melemahnya harga-harga komoditas pada saat permintaan global melemah.
Posisi kebijakan fiskal Indonesia mulai kembali normal, merefleksikan konsolidasi fiskal yang terjadi lebih cepat dari yang diharapkan. Hal ini didasari oleh meningkatnya pendapatan secara umum dan disiplin belanja publik. Penerapan reformasi perpajakan seta peningkatan kualitas belanja publik, termasuk di dalamnya investasi publik dan program-program yang mendukung pertumbuhan, terus menjadi kunci pendukung perekonomian di masa mendatang.
"Di tengah ketidakpastian global, Indonesia mengalami peningkatan yang terus menerus di banyak bidang yang penting, bagian pertumbuhan jangka panjangnya, terutama stabilitas makroekonomi, tata kelola sektor publik maupun infrastruktur," papar Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Selasa (27/6/2023).
Meskipun tidak resesi, Dana Moneter Internasional (IMF) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia akan mengalami moderasi di kisaran 5% pada 2023, setelah tumbuh 5,3% pada 2022. Proyeksi ini diungkapkan IMF dalam laporan Article IV Consultation tahun 2023 yang dirilis hari ini (26/6/2023).
Lembaga internasional ini menegaskan bahwa penurunan ini dipicu oleh lesunya permintaan dari partner dagang Indonesia. Di sisi lain, Indonesia diperkirakan akan menghadapi tekanan dari sisi permintaan domestik.
"Pemulihan permintaan domestik pada tahun 2023 juga akan menghadapi hambatan dari kebijakan konsolidasi fiskal terkini dan sikap kebijakan moneter yang lebih ketat, yang menyebabkan pertumbuhan kredit lebih lambat," tulis IMF dalam laporannya.
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati menegaskan bahwa pertumbuhan ekonomi global terancam akibat pelemahan permintaan global yang menekan laju inflasi.
Sri Mulyani melihat inflasi tinggi dan peningkatan suku bunga menjadi salah satu faktor erosi pertumbuhan ekonomi.
"Ini mengambarkan pergulatan kebijakan terutama di level makroekonomi dan moneter masih menjadi tema yang dominan," tegas Sri Mulyani, dalam konferensi pers APBN Kita, dikutip Selasa (27/6/2023).
Menurut Sri Mulyani, tekanan-tekanan terhadap perekonomian global masih menunjukkan adanya eskalasi geopolitik, baik di Ukraina dan negara-negara besar di dunia. Selanjutnya, tekanan juga berasal dari utang. Mantan pejabat Bank Dunia menuturkan bahwa debt distress terjadi di banyak negara, baik negara berkembang dan negara maju.
"Ini juga menghalangi pemulihan ekonomi," tegas Sri Mulyani yang baru saja menghadiri Paris Summit 2023.
Dengan perkembangan ini, tren pertumbuhan ekonomi di seluruh dunia menjadi beragam. Namun, lanjut Sri Mulyani, Indonesia termasuk negara yang memiliki pertumbuhan terkuat dan persistensi tinggi.
"Kita lihat Indonesia terus menerus mempertahankan pertumbuhan di atas 5% dalam 6% terakhir di negara lain mungkin bagus tapi merosot cukup tajam pada 2023 ini," tegas Sri Mulyani.
(haa/haa)