Saham Shell Gak Laku, Pertamina 'Dipaksa' Masuk Blok Masela?
Jakarta, CNBC Indonesia - Praktisi minyak dan gas bumi (migas) Hadi Ismoyo menilai PT Pertamina (Persero) 'dipaksa' masuk pada proyek migas raksasa di Maluku yakni Blok Masela.
Hal ini menimbang bahwa sejatinya Blok Masela sendiri hingga kini belum memiliki kepastian pembeli gas dari proyek 'raksasa' tersebut. Pasalnya, bila belum ada perjanjian jual beli gas (PJBG) atau Gas Sales Agreement (GSA) dengan pembeli, maka akan sulit perusahaan untuk menilai kelayakan keekonomiannya.
Seperti diketahui, saat ini pemerintah tengah mendorong Pertamina untuk masuk ke Blok Masela melalui akuisisi hak partisipasi atau Participating Interest (PI) Shell 35%. Pasalnya, sejak menyatakan rencana untuk keluar dari proyek Blok Masela beberapa tahun lalu yakni sekitar 2019, Shell hingga kini belum menemukan penggantinya.
"Kelihatannya (Pertamina) dipaksa (masuk Masela). Karena secara korporasi, sulit proyek ini feasible kalau nggak ada GSA dengan buyer," jelas Hadi saat dihubungi CNBC Indonesia, Jumat (23/6/2023).
Selain itu, dia menilai bahwa pemerintah Indonesia ingin proyek Blok Masela untuk segera dikembangkan. Dengan begitu, Hadi menilai lebih mudah untuk mendorong Badan Usaha Milik Negara (BUMN) untuk turut mengelola atau dalam hal ini Pertamina.
"Pemerintah ngotot, karena ingin Masela harus segera dikembangkan," tambahnya.
Menurutnya, lebih baik Pertamina masuk ke pengelolaan Blok Masela ini bila sudah ada kepastian pembeli gas untuk proyek ini.
"Menurut saya ya tidak ada keuntungan bagi Pertamina kalau masuk sekarang ke Blok Masela. Lebih baik bersabar sampai ada GSA," ucapnya.
Di lain sisi, Sekretaris Jenderal Asosiasi Perusahaan Minyak dan Gas Nasional (Aspermigas) Elan Biantoro sebelumnya memandang masuknya Pertamina dalam pengelolaan Blok Masela bukan keputusan yang terburu-buru. Mengingat, proyek ini sendiri sudah 20 tahun mangkrak.
"Sehingga kami sangat menyambut baik dengan adanya inisiatif Pertamina untuk mengambil alih PI Shell di Blok Masela karena apa karena apapun gas dan energy security di Indonesia itu harus disiapkan secepatnya dan sesegera mungkin," ujarnya.
Menurut Elan, kalau bicara masalah monetisasi dan pembeli gas, ia optimistis akan ada solusinya dalam waktu dekat. Apalagi, sudah ada langkah-langkah yang disiapkan oleh pemerintah maupun SKK Migas untuk membagi alokasi gas tersebut sesuai dengan neraca gas bumi di Indonesia.
"Kita tahu bahwa Indonesia ini defisit akan suplai energi di masa transisi menuju energi baru terbarukan dan dengan adanya Masela yang nanti lapangan Abadi ini segera onstream itu akan membuat Indonesia lebih mandiri dalam apa namanya ketersediaan energi," ujarnya.
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif sempat mengatakan bahwa saat ini sudah ada beberapa calon pembeli gas dari Blok Masela.
Meski demikian, dia mengakui belum ada kepastian melalui Perjanjian Jual Beli Gas (PJBG) antara produsen yakni Inpex Masela Ltd dan pembeli gas dari proyek gas yang akan dikembangkan melalui fasilitas kilang gas alam cair (LNG) darat.
Menurut Arifin, komitmen jual-beli gas di Blok Masela sendiri baru tertuang dalam bentuk nota kesepahaman (MoU) antara Inpex selaku operator Blok Masela dan calon pengguna gas. Namun sayangnya, Arifin tak merinci secara pasti siapa calon pembeli gas Blok Masela tersebut.
"Sudah ada, paling enggak MoU, sudah ada komitmen untuk offtake, selain domestik juga ada beberapa. Kita prioritaskan untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri," ungkap Arifin saat ditanya apakah Blok Masela ini sudah ada kepastian pembeli gas, ketika ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Jumat (9/6/2023).
Perlu diketahui, proyek ini dikatakan "raksasa" karena mulanya diperkirakan akan menelan biaya hingga US$ 19,8 miliar, belum termasuk penggunaan teknologi CCUS tersebut. Bila penerapan teknologi CCUS bisa meningkatkan investasi sekitar US$ 1,4 miliar, artinya investasi proyek gas Blok Masela ini bisa melonjak menjadi US$ 21,2 miliar atau sekitar Rp 318 triliun (asumsi kurs Rp 15.000 per US$).
Blok Masela ini merupakan Proyek Strategis Nasional (PSN) dan ditargetkan bisa menghasilkan gas "jumbo" sebesar 1.600 juta standar kaki kubik per hari (MMSCFD) atau setara 9,5 juta ton LNG per tahun (mtpa) dan gas pipa 150 MMSCFD, serta 35.000 barel minyak per hari.
Proyek ini dikelola oleh Inpex Masela Ltd yang bertindak sebagai operator dan memegang hak partisipasi 65% dan 35% masih dipegang oleh Shell.
Inpex dan mitranya nantinya akan membangun Kilang Gas Alam Cair (LNG) di darat yang mulanya ditargetkan sudah bisa beroperasi pada 2027. Terbaru, operasional proyek ini diperkirakan mundur menjadi 2029.
(wia)