
Tanggal Kejatuhan Dolar AS Diungkap Eks CIA, Runtuh Tahun Ini

Jakarta, CNBC Indonesia - Kejatuhan dolar Amerika Serikat (AS) ternyata diungkap mantan penasehat CIA. Bahkan, James Rickards, yang juga bankir investasi menyebut tanggal jelasnya.
Dalam tulisannya di kolom opini The Daily Reckoning yang dimuat Al Mayadeen, ia memperkirakan 22 Agustus akan jadi tanggal kemalangan dolar AS. Di mana saat itu, status dolar AS untuk alat pertukaran global secara resmi akan runtuh.
Ia mengatakan banyak faktor yang menyebabkan hal itu. Pertama dolar terhadap ekonomi Rusia di tengah konflik di Ukraina dan utang nasional AS sendiri senilai US$ 31 triliun.
Selain itu, wacana kelompok BRICS+ (Brazil, Rusia, India, China dan Afrika Selatan) untuk menciptakan perdagangan alternatif dan mata uang cadangan juga jadi masalah lain. Ini bisa menyaingi dolar AS, juga dapat mengancam posisi The Green.
"Pada 22 Agustus, sekitar dua setengah bulan dari hari ini, perkembangan paling signifikan dalam keuangan internasional sejak 1971 akan diresmikan," tulis Rickards mengacu pada BRICS+ Leaders Summit yang akan datang.
Rickards mengatakan dorongan untuk mata uang baru yang dipelopori oleh kelompok BRICS+ akan mempengaruhi perdagangan dunia, investasi asing langsung dan portofolio investor dengan cara yang dramatis dan tak terduga. ini juga dapat menyebabkan gejolak geopolitik.
"Rencana ekspansi BRICS+ adalah pengembangan paling penting dari sistem BRICS. Delapan negara sejauh ini telah mengajukan keanggotaan, bersama dengan dua belas lainnya menyatakan minat untuk bergabung dengan blok tersebut, termasuk Arab Saudi, yang membantu AS dalam mendorong mata uang dolar ke status hegemon dunia melalui pembentukan sistem petrodolar," jelasnya.
"Daftar ini lebih dari sekadar meningkatkan jumlah karyawan pada pertemuan BRICS mendatang. Jika Arab Saudi dan Rusia sama-sama anggota, Anda memiliki dua dari tiga produsen energi terbesar di bawah satu tenda," muatnya.
Sebagai catatan, negara-negara BRICS membentuk 30% dari ekonomi dunia. Aliansi yang terdiri dari Brasil, Rusia, India, China, dan Afrika Selatan ini juga merupakan 50% produksi gandum dan beras dunia, dan 15% cadangan emas planet ini.
Usul mengenai dedolarisasi dalam BRICS mencuat setelah hal ini diusulkan Rusia. Usulan ini digagas Moskow lantaran manuver politik AS dan sekutunya untuk memberikan sanksi ekonomi pada Rusia akibat perang di Ukraina.
Fakta lain yang diungkap Rickards juga mengacu pada tanggal 22 Agustus 1971. Ini merupakan hari di mana AS menjatuhkan standar emas.
"Ini melibatkan peluncuran mata uang utama baru yang dapat melemahkan peran dolar dalam pembayaran global dan pada akhirnya menggantikan dolar AS sebagai mata uang pembayaran dan mata uang cadangan utama," tambahnya.
Sebenarnya, fenomena dedolarisasi atau buang dolar mulai dilakukan oleh banyak negara di dunia. India telah mengeluarkan kebijakan baru untuk semakin meningkatkan penggunaan rupee dalam perdagangan mereka sejak April 2023. Salah satunya dengan Malaysia dan Uni Emirat Arab (UEA).
Tak kalah dengan India, Indonesia ternyata telah mengurangi ketergantungan akan dolar sejak 2018. Bank Indonesia (BI) menggencarkan penggunaan mata uang lokal melalui settlement currency atau local currency settlement (LCS) dalam transaksi perdagangan bilateral Indonesia dengan negara mitra sejak 2018.
Runtuh di Tahun 2030?
Sebenarnya kejatuhan dolar AS juga sempat diungkap sejarawan terkenal Paman Sam, Alferd McCoy. Ia pernah memprediksi "kekaisaran" Amerika mulai runtuh di 2017.
Hal ini bahkan dikatakannya sejak Donald Trump menjadi Presiden AS. Dimuat Big Think, ia mengatakan terpilihnya Trump sebagai "gejala" melemahnya AS, di mana pebisnis asal New York tersebut mempercepat penurunan AS.
"Abad Amerika ... mungkin sudah compang-camping dan memudar pada tahun 2025 ... bisa berakhir pada tahun 2030," kata McCoy.
Menurutnya kenaikan harga, upah yang stagnan dan daya saing internasional yang mulai pudar akan datang. Ia menyalahkan puluhan tahun defisit yang tumbuh karena "peperangan yang tak henti-hentinya dilakukan AS di negeri-negeri jauh".
"Pada tahun 2030, dolar AS akan kehilangan statusnya sebagai mata uang cadangan dominan dunia, menandai hilangnya pengaruh kekaisaran," tambahnya penulis buku "The Politics of Heroin" tersebut.
Perubahan ini akan mendorong kenaikan harga yang dramatis untuk impor Amerika. Biaya perjalanan ke luar negeri untuk turis dan pasukan AS juga akan meningkat.
"Seperti negara adidaya yang memudar yang tidak mampu membayar tagihannya, Amerika kemudian akan terus ditantang oleh kekuatan seperti China, Rusia, Iran, dan lainnya untuk menguasai lautan, ruang angkasa, dan dunia maya," ujar pengarang "In The Shadow of the American Century: The Rise and Decline of US Global Power" ini.
Dalam artikel lain, kolumnis Unherd, Thomas Fazi, juga menyoroti runtuhnya Marshal Plan AS. Dokumen itu adalah "kunci" yang membawa AS perkasa hingga 75 tahun terakhir ini.
Marshall Plan yang ditandatangani menjadi undang-undang oleh Presiden Harry S. Truman membuat Washington mengirim miliaran dolar bantuan ekonomi untuk membantu membangun kembali Eropa Barat setelah Perang Dunia II. Ini meletakkan dasar bagi terciptanya aliansi saling menguntungkan, saat AS menawarkan Eropa beberapa dekade kemakmuran ekonomi dan keamanan militer.
"Amerika menjadi negara besar pertama yang memberi makan dan mendukung yang ditaklukkan," tulis Fazi mengutip Truman.
Namun situasi saat ini berbeda. Menurutnya, di bawah Presiden Joe Biden Biden, Amerika mengejar kebijakan ekonomi isolasionis dan kebijakan luar negeri kaku. IniĀ bertentangan dengan kepentingan vital Eropa.
Sedangkan Eropa kini mengalami penurunan produksi industri secara besar-besaran sementara pemerintah terpaksa membayar tagihan energi sebesar ratusan miliar euro. Itu sebagai akibat dari keputusan mereka untuk mengikuti strategi AS di Ukraina karena persoalan perang Rusia.
"Dalam korteks ini, mengapa Eropa harus tetap berlabuh ke AS?" tanyanya.
Ia pun menyinggung konflik di Ukraina yang telah mempercepat munculnya tatanan internasional baru. Di mana dominasi Amerika kehilangan daya tariknya.
Tindakan AS di Ukraina telah menyatukan dua musuh terbesarnya, yakni Rusia dan China. Di mana bersama dengan India, Arab Saudi, Turki, Brasil, Afrika Selatan, dan lusinan negara lain memunculkan negara blok perdagangan dinamis, yang AS bukan bagiannya.
"Hanya dalam beberapa hari terakhir, dua peristiwa penting memberikan dorongan lebih lanjut untuk tren ini," ia mencontohkan.
"Brasil dan China mencapai kesepakatan untuk berdagang menggunakan mata uang mereka sendiri daripada dolar AS. Sementara perusahaan minyak nasional China CNOOC dan TotalEnergies Prancis menyelesaikan perdagangan LNG pertama China diselesaikan dalam yuan," tambah penulis buku "The Covid Consensus" itu.
"Semuanya menunjuk pada meningkatnya isolasi AS dari seluruh dunia, dan penurunan dramatis dalam pengaruh dan kemampuannya untuk mengekstraksi sumber daya yang kemudian dapat didistribusikan ke negara-negara protektoratnya," tambahnya lagi.
"Dengan kata lain, Marshall Plant Amerika telah hilang dan sebagai gantinya, China berharap Belt and Road Initiative (BRI) miliknya akan menjadi mesin ekonomi baru dari blok pasca-Barat," tutupnya.
(sef/sef)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: Indonesia Mau Ikut Tinggalkan Dolar AS, Apa Risikonya?
