Gonjang-ganjing Utang Minyak Goreng, Gini Kata Zulkifli Hasan

Martyasari Rizky, CNBC Indonesia
Selasa, 06/06/2023 14:00 WIB
Foto: Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan saat rapat kerja dengan Komisi VI DPR RI. (Tangkapan Layar Youtube TVR PARLEMEN)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kisruh pembayaran selisih harga atau rafaksi minyak goreng sepertinya belum akan memiliki titik terang. Menteri Perdagangan (Mendag) Zulkifli Hasan atau Zulhas menjelaskan, yang dapat melakukan klaim atau penagihan utang atas selisih harga minyak goreng kepada Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) adalah pelaku usaha, dalam hal ini produsen minyak goreng yang telah terdaftar dan telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri.

Hal itu tertuang dalam Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) No 1/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Sederhana Untuk Kebutuhan Masyarakat dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit

Hanya saja, Permendag itu telah dicabut dengan Permendag No 3/2022 tentang Penyediaan Minyak Goreng Kemasan Untuk Kebutuhan Masyarakat Dalam Kerangka Pembiayaan oleh Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit.  Yang juga telah dicabut dengan Permendag No. 6 Tahun 2022 tentang Penetapan Harga Eceran Tertinggi Minyak Goreng Sawit.


"Berdasarkan Permendag Nomor 1 Tahun 2022 yang dapat melakukan klaim atas selisih harga minyak goreng kepada BPDPKS, adalah pelaku usaha yang telah terdaftar dan telah ditetapkan oleh Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kemendag," kata Zulhas dalam Rapat Kerja bersama Komisi VI DPR RI di Jakarta, Selasa (6/6/2023).

Zulhas mengatakan, Kemendag telah menetapkan harga acuan keekonomian (HAK) sebesar Rp17.260 per liter, dan harga eceran tertinggi (HET) Rp14.000 per liter, yang digunakan sebagai acuan besaran biaya yang dapat diklaim oleh pelaku usaha.

"Penggantian dapat diklaim pelaku usaha kepada BPDPKS berupa klaim penyaluran atau rafaksi, posisi minyak goreng sudah di gudang, display pada ritel modern," jelasnya.

Sementara pada proses penyalurannya, lanjut Zulhas, pergantian yang dapat diklaim mencakup selisih harga antara HAK dan HET dikalikan dengan volume penyaluran, biaya distribusi ongkos angkut pada proses rafaksi.

"Penggantian yang dapat diklaim hanya selisih harga antara HAK atau harga acuan keekonomian dengan HET dikalikan dengan volume penyaluran," ujarnya.

Lebih lanjut, Zulhas mengungkapkan, ada sebanyak 54 pelaku usaha telah mengajukan klaim kepada BPDPKS, dengan total nilai Rp 812.720.437.220.

"Dari jumlah tersebut, Kemendag selaku pihak yang diharuskan melakukan verifikasi kemudian menunjuk Sucofindo, tetapi saya juga meminta kepada auditor negara. Auditor yang diakui negara untuk mengaudit," kata dia.

"Dan jumlah yang telah diverifikasi, Sucofindo mengatakan (angka yang harus dibayarkan BPDPKS ialah sebesar) Rp 478.888.176.039 atau 58,43% dari total nilai," lanjut dia.

Adapun perbedaan antara klaim dan hasil verifikasi, katanya, disebabkan oleh beberapa faktor, diantaranya klaim penyaluran maupun rafaksi yang tidak dilengkapi bukti penjualan sampai dengan ke pengecer.

Kemudian, biaya distribusi dan ongkos angkut yang tidak dapat diyakini. Serta, penyaluran rafaksi yang melebihi dari tanggal 31 Januari 2022.

Zulhas mengakui, sampai dengan saat ini BPDPKS masih belum melakukan pembayaran rafaksi tersebut, dikarenakan Kemendag masih belum menyampaikan hasil verifikasi yang telah dilakukan Sucofindo kepada BPDPKS.

Alasannya, karena ada begitu banyak keluar angka tagihan yang tidak selaras atau tidak sinkron, untuk itu dia meminta kepada auditor negara turut mengaudit berapa biaya yang sebetulnya harus dikeluarkan BPDPKS dalam menyelesaikan pembayaran dana pembiayaan rafaksi tersebut.

"Kami berkirim surat kepada BPK atau BPKP, agar (mengetahui dengan jelas) selisih harga yang benar itu yang mana? Ini sudah diaudit saja (keluar angka) ada yang Rp 800 miliar. Pertama saya mendapat laporan ada Rp350 miliar, ada yang Rp400 miliar, terakhir dapat laporan Rp800 miliar, mana yang benar? Kalau itu sudah membayar, waduh panjang itu ceritanya, nanti yang dipanggil Mendag kan. Makanya ini saya minta betul hati-hati," ujarnya.

Lebih lanjut, Zulhas mengatakan, sebelumnya pihak Kemendag juga sudah mengirimkan surat kepada Jaksa Agung Muda Bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Jamdatun) Kejaksaan Agung, untuk meminta pendapat hukum atau legal opinion (LO) terkait isu hukum yang mungkin terjadi selama pembayaran rafaksi tersebut.

"Jamdatun kemudian menyampaikan legal opinion (LO), yang berisi bahwa BPDPKS masih terdapat kewajiban hukum untuk menyelesaikan pembayaran pembiayaan rafaksi," jelasnya.

Zulhas menerangkan, karena Permendag nomor 3 tahun 2022 yang mengatur soal rafaksi minyak goreng sudah dibatalkan, sedangkan dalam proses pembayaran itu harus ada aturan yang jelas. Untuk itu, pihaknya sangat berhati-hati dalam memberikan izin pembayaran kepada BPDPKS.

"Patokannya ini kan Permendag, tapi ini Permendagnya sudah tidak ada lagi. Kita kan mau bayar harus ada aturannya, Permendagnya sudah gak ada. Oleh karena itu meminta fatwa hukum," ucapnya.

Dia mengatakan, jawaban dari fatwa hukum itu sudah diterimanya, namun dia menilai surat jawaban dari Kejaksaan Agung tersebut sebetulnya juga tidak jelas.

"Memang sudah ada jawaban (dari) Kejaksaan Agung. Tapi sebetulnya suratnya juga nggak jelas, tetapi ada suratnya. Kemendag ini kan peraturannya sudah nggak ada, tetapi fatwanya kurang terang, zaman sekarang ini khawatir, oleh karena itu kita hati-hati," pungkas Zulhas.


(dce)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Bapanas Jamin Bansos Beras 10Kg Tepat Sasaran & Berkualitas