China Bahayakan RI! Ini yang Harus Diwaspadai Pak Jokowi

Cantika Adinda Putri, CNBC Indonesia
Selasa, 06/06/2023 14:20 WIB
Foto: Seorang pria berjalan di pantai dekat bendera China di pulau Pingtan, di seberang Taiwan, di provinsi Fujian tenggara China pada 9 April 2023. (AFP via Getty Images/GREG BAKER)

Jakarta, CNBC Indonesia - Belum pulihnya aktivitas ekonomi China nampaknya belum bisa membawa angin segar untuk perekonomian tanah air.

Ekonom senior BCA Barra Kukuh Mamia menjelaskan, dibukanya aktivitas ekonomi di China pasca lockdown pandemi Covid-19, membuat China masih berjibaku untuk memulihkan ekonominya.

Pertumbuhan ekonomi China pada kuartal I-2023 berhasil tumbuh positif 4,5% secara tahunan (year on year/yoy), lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan ekonomi pada kuartal IV-2022 yang mencapai 2,9% (yoy).


Produksi industri di China hanya tumbuh 5,6% (yoy), investasi aset tetap 4,7% dan penjualan ritel tumbuh 18,4%. Penjualan ritel memang menunjukkan pertumbuhan yang signifikan. Namun itu hanya dampak dari based effect setelah China memberlakukan lockdown.

"Ini efek dasar yang rendah dari lockdown Shanghai tahun lalu, dan sebenarnya menunjukkan penurunan tajam secara bulanan atau kontraksi 7,8%," jelas Barra dalam laporannya China's warehouses are full, and it is spilling over to the global economy, dikutip Selasa (6/6/2023).

Oleh karena itu, China rentan terhadap siklus penumpukan invetori yang diikuti oleh penurunan produksi, karena orientasi ekspor dan ketidakseimbangan dalam negerinya.

Diketahui, impor China mengalami kontraksi atau -7,9 persen pada April 2023. Penurunan ini memperpanjang kinerja negatif yang sudah terjadi sejak Oktober 2022 lalu.

Sementara itu, pertumbuhan ekspornya tercatat melambat. Data Bea dan Cukai China juga mencatat ekspor tumbuh 8,5 persen (yoy), turun dari 14,8% pada bulan Maret lalu.

Lockdown yang terjadi tahun lalu menyebabkan peningkatan baru inventori barang-barang yang diproduksi China, yang seharusnya mampu meningkatkan permintaan produksi.

Perekonomian China 25% berasal dari permintaan domestik, sementara sisanya atau 75% berasal dari ekspor, terutama ekspor manufaktur. Adapun, sektor manufaktur di China saat ini tengah mengalami kontraksi.

Diketahui, Purchasing Managers' Index (PMI) Manufaktur China pada bulan Mei 2023 turun ke level 48,8, ini merupakan angka terendah dalam 5 bulan. Tercatat turun 49,2 dari bulan sebelumnya. Angka ini benar-benar di luar ekspektasi forecast kebanyakan ekonom.

Ini menjadi lampu kuning bagi ekonomi China sebab manufaktur berkontribusi 33% terhadap pertumbuhan ekonomi China. Perlambatan ekonomi China ini harus diwaspadai oleh Indonesia. Pasalnya, China adalah mitra dagang Indonesia yang utama.

Penurunan PMI China menjadi alarm bagi perdagangan luar negeri Indonesia, mengingat Negeri Tirai Bambu ini merupakan mitra dagang utama.

"Mengalihkan pandangan kita kembali ke China, jelas bahwa kelebihan persediaan masih menjangkiti banyak industri, dan mungkin diperlukan beberapa bulan lagi untuk ekspor yang kuat," jelas Barra.

Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati pernah mengungkapkan, kontraksi 1% ekonomi China dapat menyebabkan penurunan pertumbuhan ekonomi Indonesia sebesar 0,3% hingga 0,6%.

Indonesia pun harus mewaspadai gelagat penurunan PMI China yang relatif konstan setiap bulannya. Dari sisi perdagangan, Indonesia semestinya bisa mengalihkan pasar baru pengganti China.

Dari data BPS, ekspor Indonesia pada Januari hingga April 2023 mencapai US$ 86,4 miliar atau turun 7,6% dibandingkan periode yang sama tahun lalu.


(cap/cap)
Saksikan video di bawah ini:

Video: PMI Manufaktur RI Lanjut Kontraksi di Level 47,4 pada Mei 2025