Boro-Boro Ngucilkan, Ini Bukti Nyata AS Bergantung pada RI

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Rabu, 31/05/2023 12:32 WIB
Foto: REUTERS/KEVIN LAMARQUE

Jakarta, CNBC Indonesia - Amerika Serikat dikabarkan berencana untuk mengucilkan nikel Indonesia karena belum memiliki Perjanjian Perdagangan Bebas (Free Trade Agreement/ FTA).

Pengucilan nikel ini terkait nikel asal RI yang direncanakan tidak masuk ke dalam paket subsidi hijau yang tertuang dalam Inflation Reduction Act (IRA). Bila baterai kendaraan listrik di AS mengandung komponen nikel asal RI, maka direncanakan tidak akan mendapatkan subsidi hijau tersebut.

Kendati demikian, Pemerintah Indonesia optimistis bahwa Amerika Serikat tidak akan mungkin berani mengucilkan nikel RI.


Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) menilai bahwa pihak Amerika Serikat masih membutuhkan nikel Indonesia.

Deputi Bidang Koordinasi Investasi dan Pertambangan Kemenko Marves Septian Hario Seto mengatakan, optimisme ini tak lain karena AS menargetkan penjualan mobil listrik pada 2032 mendatang. Bahkan, penjualan mobil listrik ditargetkan bisa menguasai 67% dari total penjualan mobil di negara Paman Sam tersebut.

Ini artinya, AS akan membutuhkan baterai dalam jumlah besar pada saat itu. Seperti diketahui, salah satu komponen baterai yaitu nikel. Dengan kebutuhan komponen baterai yang besar, artinya mereka juga membutuhkan pasokan nikel yang besar. Menurutnya, ini bisa tersedia dengan mengandalkan pasokan nikel RI.

"Mereka bilang 2032 itu mereka mau 67% mobil yang dijual di Amerika Serikat itu EV. Kalau sekarang mereka jual, lets say 14 juta mobil per tahun, kalau 2032 ya gampang kita ngomong 20 juta deh, kalau sepertiganya at least 15 juta mobil. Kalau semuanya EV bisa dihitung baterainya berapa banyak yang mereka butuhkan," papar Seto saat ditemui di Jakarta, Selasa (30/5/2023).

"Tadi kalau kita lihat dari data saya, mungkin 2030 mereka ada 1.000 GWh baterai, kalau itu semuanya nikel butuh 900 ribu ton, itu gede banget hanya dari Amerika," tambahnya.

Dengan begitu, Seto menilai kebutuhan Amerika Serikat akan nikel dalam jumlah yang besar pada akhirnya akan membutuhkan Indonesia sebagai produsen nikel terbesar di dunia.

"Kalau mereka mau majority-nya tetap dari Indonesia, karena Kanada, Australia, belum ada announce capacity expansion yang signifikan, semuanya dari Indonesia," tandasnya.

Sebelumnya, Presiden RI Joko Widodo (Jokowi) akhirnya turun tangan, menanggapi dikucilkannya komoditas Indonesia yakni produk nikel oleh Amerika Serikat (AS).

Presiden Jokowi pun sudah mengetahui perihal pengucilan nikel Indonesia oleh AS. Maka dari itu, Presiden Jokowi menegaskan bahwa Indonesia harus tetap membangun ekosistem termasuk EV menjadi besar supaya bisa menjadi suplai chains global.

"Kita ini dihambat terus, termasuk soal IRA. Sebenarnya posisi kita enak untuk melawan, karena mereka sedang sbuk dengan geopolitik masing-masing," ungkap Jokowi di Istana Negara, dikutip Selasa (30/5/2023).

Karena hal itu, Presiden Jokowi berharap pemimpin atau Presiden ke depan bisa menjadi sangat menentukan untuk Indonesia meloncat menjadi negara maju khususnya dalam pengembangan hilirisasi nikel menjadi baterai EV.

"Jadi Presiden 2024, 2029, 2034 sangat menentukan ini. Tinggal pilih saja. Siapapun pemimpinnya, kabinetnya harus orang-orang terpilih, kuat dan bisa bekerja secara detil, tidak bisa hanya makro saja, persoalan global sangat rumit," ungkap Jokowi.

Seperti diketahui, AS kini berencana mengeluarkan kebijakan paket subsidi hijau yang diatur dalam Inflation Reduction Act (IRA). Undang-undang ini mencakup US$ 370 miliar dalam subsidi untuk teknologi energi bersih.

Namun, produk baterai kendaraan listrik yang mengandung komponen nikel dari Indonesia dikabarkan tidak akan mendapatkan paket subsidi tersebut. Alasannya, Indonesia belum memiliki Perjanjian Perdagangan Bebas atau Free Trade Agreement (FTA) dengan AS.

Pada awal April lalu, Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan sempat terbang ke AS untuk mengajukan proposal Limited FTA khususnya soal nikel.

Namun, Luhut sempat menyatakan jika AS tidak segera menjalin kerja sama dengan Indonesia atau tidak menyetujui Limited FTA dengan Indonesia, maka yang akan rugi adalah pihak AS itu sendiri.

"Kita akan bicara (dengan AS), karena kalau tidak, mereka akan rugi juga dan green energy yang kita punya untuk proses prekursor katoda itu mereka nggak dapat dari Indonesia karena kita nggak punya Free Trade Agreement/FTA dengan mereka," tegasnya saat konferensi pers di gedung Kemenko Marves, Senin (10/4/2023).


(wia)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Indonesia Terancam Banjir Limbah Baterai EV Dalam 3 Tahun