Amerika Mau Bangkrut, Kok RI Ikutan Pusing? Ini Jawabannya!

Arrijal Rachman, CNBC Indonesia
26 May 2023 16:17
Tenang! Utang RI vs AS Bak Bumi dan Langit, Ini Buktinya
Foto: Infografis/Tenang! Utang RI vs AS Bak Bumi dan Langit, Ini Buktinya/Aristya Rahadian

Jakarta, CNBC Indonesia - Masyarakat dunia terus menyoroti potensi risiko bangkrut atau gagal bayar (default) utang pemerintahan Amerika Serikat. Situasi yang disebabkan menggunungnya utang pemerintah AS hingga US$ 31,4 triliun atau mendekati batas pagu (debt ceiling) turut membuat para pembuat kebijakan di Indonesia menaruh perhatian kuat.

Deputi Bidang Ekonomi Bappenas Amalia Adininggar Widyasanti mengatakan, Amerika Serikat merupakan negara dengan kapasitas perekonomian terbesar, yakni dengan PDB pada 2022 mencapai US$ 25 triliun. Dengan kapasitas itu, tentu setiap guncangan yang terjadi terhadap perekonomiannya akan mempengaruhi ekonomi dunia secara umum.

"Karena AS negara yang besar, kalau dia shaky pasti akan ada transmisi ke ekonomi lain itu aja sebenarnya, nanti kita tinggal lihat transmisinya ke ekonomi Indonesia seberapa besar," kata Amalia saat ditemui CNBC Indonesia di kantornya, Jakarta, Jumat (26/5/2023).

Oleh sebab itu, ia mengatakan, yang perlu dicermati saat ini adalah efek rambatan dari kondisi tersebut. Bila nantinya pemerintah AS tak mampu menemukan titik terangnya hingga batas waktu 1 Juni 2023 maka bisa memicu krisis di sektor keuangan maupun ekonomi makronya.

Meski risiko krisisnya besar bagi Amerika Serikat, Amalia menekankan, efek rambatannya terhadap Indonesia tidak akan terlalu busa karena keterkaitan antara sektor finansia negara tersebut dengan Indonesia tidak besar. Ia juga optimistis permasalahan itu tak akan mengganggu target-target pertumbuhan ekonomi tanah air.

"Bisa saja kita isolasi transmisinya itu supaya efeknya tidak terlalu besar, kalau dari nanti economic crisis terus ujungnya ke financial crisis itu kita enggak ada terlalu hubungan financial dengan bank kita, Karena koneksi atau keterkaitan finansial market kita dengan finansial market AS enggak terlalu intens," ujarnya.

Menurut Amalia, persoalan lonjakan utang ini memang kerap kali dialami banyak negara, apalagi setelah menghadapi krisis Pandemi Covid-19. Indonesia pun turut menghadapi tekanan risiko utang setelah masa itu dengan rasio utang terhadap PDB yang hampir menyentuh level 40%.

"Jadi sudah biasa itu management fiscal yang normal di setiap negara. Begitu krisis jor-joran, habis-habisan, mau dari mana lagi kalau enggak dari utang, karena kan negara sumber pendapatannya selain dari pajak, PNBP, ya utang, tinggal di manage lagi levelnya," ungkap Amalia.

"Tapi, hal-hal yang menurut saya tidak terlalu urgent jangan membuat keresahan, jangan membuat itu menjadi sesuatu yang membuat resah, tinggal kita lihat aja," tegasnya.

Gubernur Bank Indonesia (BI) Perry Warjiyo dalam konferensi pers, Kamis (25/5/2023) juga telah menjelaskan, yang menjadi perhatian pasar saat ini adalah poin negosiasi yang akan disepakati. Apabila permintaan pemerintahan Presiden AS Joe Biden dipenuhi, maka bisa mendorong kenaikan US Treasury.

Yield Treasury tenor 2 tahun misalnya, pada perdagangan Kamis (26/5/2023), mengalami kenaikan 16,7 basis poin menjadi 4,51%. Level tersebut menjadi yang tertinggi sejak 10 Maret lalu. Dalam tiga pekan, kenaikannya mencapai 58,8 basis poin.

Kemudian tenor 10 tahun, kemarin tercatat naik 9,6 basis poin ke 3,815%, dalam 3 pekan sudah melesat 36,9 basis poin.

"Kalau debt ceiling-nya tinggi, tentu jumlah utangnya tinggi dan UST akan tinggi. Kemungkinan akan mempengaruhi bagaimana respons dari the Fed. Kalau debt ceiling tinggi, growth akan tinggi, inflasi tinggi," paparnya.

Beda cerita kalau misalkan belanja pemerintah yang dipangkas. Menurut Perry, situasi tersebut akan mendorong suku bunga acuan AS lebih rendah dari posisi sekarang 5-5,25%.

"Kalau spending cut berarti jumlah utang rendah dan yield threshold tak akan setinggi itu dan FFR bisa saja tidak hanya hold tapi akan turun," terang Perry.

Maka dari itu disebutkan ketidakpastian global kini kembali tinggi. "Yang dihadapi sekarang UST kuat, dolar kuat, mata uang kena tekanan," pungkasnya.

Direktur Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko Kemenkeu Suminto mengungkapkan akan terus mewaspadai kebijakan politik di AS. Sampai saat ini, kata dia belum ada dampak signifikan ke pasar keuangan global termasuk pasar keuangan Indonesia.

"Kita belum lihat dampak signifikan ke pasar keuangan global, termasuk spill over ke pasar SBN kita, pasar SBN kita masih sangat baik dan supportive yang menandakan belum dilihatnya dampak debt ceiling di US ini," jelas Suminto pada kesempatan berbeda.


(mij/mij)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article AS Revisi Pertumbuhan Ekonomi 2022 Dari 2,7% Menjadi 2,6%

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular