Internasional

Ramai Negara Asia Kucurkan Banyak Uang demi Lawan Resesi Seks

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
17 May 2023 15:35
FILE PHOTO: An 80-year-old man, surnamed Li, watches as a girl plays at a residential community in Beijing, China, October 30, 2015. REUTERS/Jason Lee/File Photo
Foto: Populasi China (Reuters/Jason Lee)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ancaman penurunan populasi sebagai indikasi dari resesi seks terus menghantam banyak negara di dunia, terutama di Asia. Fenomena tersebut menghasilkan anjloknya angka kelahiran, yang kemudian menjadi perhatian utama bagi beberapa negara ekonomi terbesar di benua tersebut.

Tidak sedikit pemerintah di Asia menghabiskan ratusan miliar dolar untuk mencoba untuk mengatasi turunnya angka kelahiran.

Jepang mulai memperkenalkan kebijakan untuk mendorong pasangan memiliki lebih banyak anak pada 1990-an. Korea Selatan (Korsel) mulai melakukan hal yang sama pada tahun 2000-an, sementara kebijakan kesuburan pertama Singapura dimulai pada tahun 1987.

China, yang saat ini mengalami penurunan populasi untuk pertama kalinya dalam 60 tahun, belum lama ini juga melakukan kebijakan yang senada.

Meskipun sulit untuk menghitung dengan tepat berapa biaya kebijakan ini, Presiden Korsel Yoon Suk Yeol belum lama ini mengatakan negaranya telah menghabiskan lebih dari US$ 200 miliar atau setara Rp 2.975 triliun selama 16 tahun terakhir untuk mencoba meningkatkan populasi.

Namun tahun lalu Korsel memecahkan rekornya sendiri untuk tingkat kesuburan terendah di dunia, dengan rata-rata jumlah bayi yang diharapkan per wanita turun menjadi 0,78.

Di negara tetangga Jepang, yang memiliki rekor kelahiran rendah kurang dari 800.000 tahun lalu, Perdana Menteri Fumio Kishida telah berjanji untuk menggandakan anggaran untuk kebijakan terkait anak dari 10 triliun yen (Rp 1.111 triliun) atau lebih dari 2% dari produk domestik bruto negara tersebut.

Laporan terbaru PBB menyebut secara global menyebut jumlah negara yang ingin meningkatkan kesuburan meningkat lebih dari tiga kali lipat sejak tahun 1976.

Tak Efektif

Sayangnya, selama beberapa dekade terakhir dari Jepang, Korsel, dan Singapura menunjukkan bahwa upaya untuk meningkatkan populasi mereka hanya berdampak kecil. Kementerian Keuangan Jepang bahkan telah menerbitkan sebuah studi yang mengatakan bahwa kebijakan tersebut gagal.

"Kami tahu dari sejarah bahwa jenis kebijakan yang kami sebut rekayasa demografis di mana mereka mencoba mendorong perempuan untuk memiliki lebih banyak bayi, mereka tidak berhasil," kata Alanna Armitage dari United Nations Population Fund, dikutip dari BBC.

"Kita perlu memahami faktor penentu yang mendasari mengapa perempuan tidak memiliki anak, dan seringkali ketidakmampuan perempuan untuk menggabungkan kehidupan kerja mereka dengan kehidupan keluarga mereka," tambahnya.

Negara-negara Asia juga mendapat peringkat lebih rendah dibandingkan laporan kesenjangan gender global oleh Forum Ekonomi Dunia (WEF).

Ada juga pertanyaan besar tentang bagaimana langkah-langkah mahal ini harus didanai, terutama di Jepang, yang merupakan ekonomi maju yang paling banyak berutang di dunia.

Pilihan yang dipertimbangkan di Jepang termasuk menjual lebih banyak obligasi pemerintah, yang berarti menambah utangnya, menaikkan pajak penjualannya, atau menaikkan premi asuransi sosial.

Opsi pertama menambah beban keuangan bagi generasi mendatang, sedangkan dua lainnya akan memukul pekerja saat ini, yang dapat meyakinkan mereka untuk memiliki lebih sedikit anak.

Antonio Fatás, profesor ekonomi di INSEAD mengatakan terlepas dari apakah kebijakan ini berhasil, mereka harus berinvestasi di dalamnya. "Tingkat fertilitas belum naik tapi kalau dukungannya kurang? Mungkin malah lebih rendah lagi," katanya.

Pemerintah juga berinvestasi di bidang lain untuk mempersiapkan ekonomi mereka menghadapi populasi yang menyusut.

"China telah berinvestasi dalam teknologi dan inovasi untuk menutupi penurunan angkatan kerja guna mengurangi dampak negatif dari populasi yang menyusut," kata Xiujian Peng dari Universitas Victoria.

Selain itu, meski tetap tidak populer di negara-negara seperti Jepang dan Korsel, anggota parlemen sedang mendiskusikan perubahan peraturan imigrasi mereka untuk mencoba menarik pekerja muda dari luar negeri.

"Secara global, tingkat kesuburan menurun sehingga akan menjadi perlombaan untuk menarik kaum muda datang dan bekerja di negara Anda," tambah Peng.


(luc/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Krisis Populasi di Jepang Makin Ngeri, Banyak Sekolah Tutup!

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular