CNBC Insight 25 Tahun Krisis

25 Tahun Krisis: Rakyat Ngamuk, Etnis Tionghoa Jadi Sasaran

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
Sabtu, 13/05/2023 09:00 WIB
Foto: Foto: Demo tolak Omnibus Law di Bandung kembali ricuh (Wisma Putra/detikcom).

Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis moneter di Thailand pada 1997 berdampak fatal terhadap Indonesia, tidak hanya di sektor ekonomi tetapi juga politik. Naiknya harga bahan pokok dasar dan kebosanan terhadap pemerintah Soeharto menjadi alasan yang tepat bagi rakyat untuk turun ke jalan. 

Namun, tidak ada yang menyangka juga kalau aksi demonstrasi rakyat itu berujung pada kerusuhan terbesar di abad ke-20. Sehari setelah penembakan empat mahasiswa Trisakti yang tidak bersalah, emosi rakyat akhirnya meledak.

Tepat hari ini 25 tahun lalu, kerusuhan hebat melanda Jakarta dan sekitarnya. Rakyat membabi-buta merusak, serta membakar bangunan dan kendaraan. Polisi dan militer kewalahan mengatasinya. 


Dalam pewartaan Kompas (14 Mei 1998), kerusuhan bermula di Grogol, sekitar Trisakti dan Mall Ciputra. Rakyat yang terprovokasi melempari aparat dengan batu dan merusak semua yang dilihatnya. Mobil yang terparkir di Mall Ciputra hangus terbakar.

Situasi di dalam Mall Ciputra tidak karuan. Asap hitam tebal membumbung tinggi, seluruh barangnya ludes dibakar, sebagian dijarah. Pertokoan dan pabrik di Jl. Daan Mogot juga bernasib sama. Begitu juga bangunan di kawasan Roxy dan SCBD Sudirman. 

Tidak terhitung berapa kerugian materiil dan korban jiwa di hari itu. Yang pasti hari-hari setelahnya situasi semakin tidak karuan. Penjarahan dan kebakaran ada dimana-mana. 

Penasehat militer presiden Soeharto Letjen TNI Sintong Panjaitan dalam Perjalanan Seorang Prajurit Para Komando (2009) mencatat ada 4.939 bangunan rusak dibakar yang kerugiannya mencapai Rp 2,5 triliun. Ini belum menghitung ribuan mobil dan motor yang dirusak dan dibakar, serta korban jiwa, baik itu terluka, meninggal atau mengalami kekerasan seksual.

Kerusuhan yang terjadi kala itu memiliki pola serupa: menyasar pusat perdagangan yang dimiliki etnis Tionghoa. Ini terjadi di beberapa kawasan yang kental dengan etnis Tionghoa, seperti Glodok, Roxy, Pluit, Senen, dan Mangga Besar. 

Lalu, mengapa Tionghoa menjadi target amukan massa dan kerusuhan berubah jadi sentimen rasial?

Jemma Purdey dalam Kekerasan Anti-Tionghoa di Indonesia 1996-1999 (2013) menjelaskan hal ini terjadi karena ada stereotip terhadap mereka bahwa orang Tionghoa patut dibenci karena mereka kaya raya, dan dekat dengan penguasa. 

Stereotip ini terjadi karena mereka banyak berurusan di sektor bisnis, sehingga kekayaannya pun meningkat. Sementara stereotip kedekatan dengan penguasa disebabkan karena saat itu Soeharto sangat dekat dengan taipan Sudono Salim alias Liem Sioe Liong. 

Kedua aspek ini kemudian membentuk pandangan masyarakat bahwa etnis Tionghoa sudah pasti kaya raya dan dekat dengan penguasa. Maka, masyarakat pun menjadikan seluruh etnis Tionghoa sebagai sasaran. 

Tokoh besar seperti Sudono Salim adalah target utama masyarakat saat itu. Richard Borsuk dan Nancy Chng dalam Liem Sioe Liong dan Salim Group (2016) menyebut, Sudono Salim saat itu adalah orang terkaya di Indonesia. 

Kedekatannya dengan presiden membuat bisnisnya lancar, sehingga menimbulkan kebencian. Rumahnya di kawasan Pluit dan Roxy dibakar massa. Bisnisnya, terutama BCA (Bank swasta terbesar kala itu), hancur. 

Sayang, ada pula yang salah sasaran. Ini dialami oleh Mei (bukan nama sebenarnya) yang rumahnya dihancurkan oleh massa hanya karena dia penduduk Tionghoa (Kompas, 21 Mei 1998). Namun, Mei cukup beruntung karena dia tidak mengalami kekerasan, seperti mayoritas perempuan Tionghoa saat itu.

Agar lebih aman sampai mereka harus menuliskan tulisan "Saya Pribumi" di depan toko atau rumahnya supaya tidak dirusak. Peristiwa ini kemudian menjadi pukulan telak bagi pemerintahan Soeharto. Hingga akhirnya dia pun lengser pada 21 Mei 1998. 


(mfa/mfa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Industri Genset Terimbas Efisiensi, Pelaku Usaha Berharap Ini