Hore! Bank Dunia Sebut Kemiskinan Ekstrem di RI Tinggal 1,5%
Jakarta, CNBC Indonesia - Bank Dunia atau World Bank mengungkapkan, bahwa Indonesia telah berhasil menurunkan tingkat kemiskinan ekstrem yang diukur berdasarkan Paritas Daya Beli (PPP) pada 2011 sebesar US$ 1,9 per kapita per hari, turun dari 19% pada 2002 menjadi 1,5% pada 2022.
Bank Dunia dalam laporannya bertajuk 'Indonesia Poverty Assessment: Pathways Towards Economic Security', mengungkapkan penurunan tingkat kemiskinan ekstrem di Indonesia yang menjadi 1,5% pada 2022 tersebut berkat pertumbuhan ekonomi berkelanjutan dan dukungan fiskal pemerintah dalam memberikan perlindungan sosial kepada masyarakat miskin dan rentan.
"Kemiskinan ekstrem yang diukur berdasarkan PPP pada tahun 2011 sebesar US$ 1,9 turun menjadi 1,5% pada 2022," jelas Bank Dunia dalam laporannya, dikutip Selasa (9/5/2023).
Indonesia pun, menurut Bank Dunia dapat melanjutkan dan mempercepat upaya pengentasan kemiskinan bagi segmen penduduk yang lebih besar, sesuai dengan cita-citanya untuk menjadi negara berpenghasilan tinggi pada 2045.
Kendati demikian, menurut Bank Dunia, Indonesia perlu untuk menetapkan sasaran yang lebih tinggi untuk meningkatkan kehidupan sepertiga penduduk Indonesia yang secara ekonomi masih tidak aman. Misalnya dengan mengubah pengukuran PPP menjadi US$ 3,2 per hari.
Peralihan PPP menjadi US$ 3,2 per hari akan berdampak bukan hanya pada jumlah orang miskin, melainkan juga profil mereka, misalnya dengan masuknya lebih banyak pekerja di luar sektor pertanian.
Untuk diketahui, Bank Dunia menaikkan garis kemiskinan ekstrem dari US$ 1,9 menjadi US$ 2,15 per kapita per hari. Sementara itu, batas kelas penghasilan menengah bawah dinaikkan dari US$ 3,2 menjadi US$ 3,65 per kapita per hari.
Sedangkan, untuk batas penghasilan kelas menengah ke atas dinaikkan dari US$ 5,5 menjadi US$ 6,58 per kapita per hari.
Indonesia, sebagai calon negara berpenghasilan menengah ke atas, menurut Bank Dunia perlu memperluas fokusnya di luar kemiskinan ekstrem, dengan beralih dari garis kemiskinan US$ 1,9 per kapita per hari ke garis yang lebih tinggi untuk negara berpenghasilan menengah.
"Fokusnya juga harus mencakup rumah tangga yang secara ekonomi tidak aman, yang rentan jatuh kembali ke dalam kesmikinan," tulis Bank Dunia dalam laporannya.
Oleh karena itu, kebijakan perlu diperluas dari hanya menargetkan penduduk yang sangat miskin, menjadi strategi pertumbuhan yang inklusif, agar rumah tangga miskin dapat mencapai keamanan ekonomi.
Adapun, Bank Dunia mencatat, tingkat kemiskinan di Indonesia jika dihitung dengan standar Paritas Daya Beli US$ 3,2 per kapita per hari, menurun dari 61% pada 2022 menjadi 16% pada 2022.
Bank Dunia menilai, pendekatan multi cabang (multi-pronged approach) dapat dilakukan untuk bisa mencapai ambisi tersebut. Caranya dengan menciptakan peluang yang lebih baik, melindungi rumah tangga dari kemiskinan, dan mendanai investasi yang berpihak pada rakyat miskin.
Menciptakan peluang yang lebih baik, misalnya dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia. Para pekerja di Indonesia perlu ditambah dengan keterampilan yang tepat untuk mempersiapkan diri mendapatkan pekerjaan baru, bukan hanya keterampilan digital, melainkan keterampilan yang dibutuhkan untuk pekerjaan yang tepat.
"Kebijakan, misalnya dapat meningkatkan jenjang dan kualitas pendidikan menengah dan khususnya pendidikan tinggi, serta meningkatkan investasi pada pelatihan-pelatihan teknis dan kejujuran," jelas Bank Dunia.
Adapun untuk melindungi rumah tangga dari kemiskinan, pemerintah perlu untuk melakukan penargetan dan kecukupan bantuan yang diberikan. Selain itu, inklusi keuangan dapat diprioritaskan untuk memberikan akses yang lebih baik, misalnya lewat instrumen simpan pinjam.
Selain itu, saran Bank Dunia lewat membiayai investasi yang berpihak pada penduduk miskin, misalnya peninjauan kembali kebijakan subsidi energi dan pertanian, yang dapat meningkatkan pendapatan pemerintah dan bisa dengan pembebasan pajak pertambahan nilai (PPN).
Juga, peningkatan kapasitas pemerintah daerah khususnya di bidang pengelolaan belanja daerah, dapat membantu memperbaiki kualitas pelayanan publik, terutama di sektor pendidikan dan kesehatan.
"Hal ini khususnya penting dalam konteks daerah terpencil dan tertinggi, yang memiliki kapasitas terendah, sehingga menunjukkan capaian modal manusia yang sangat rendah," jelas Bank Dunia.
(cap/cap)