Kisah Indonesia 'Masuk Neraka' Usai Daftar Jadi Pasien IMF
Jakarta, CNBC Indonesia - Krisis ekonomi di Thailand pada Juli 1997 berdampak besar bagi ekonomi Indonesia. Besarnya arus modal yang keluar membuat Bank Indonesia mengikuti kebijakan sama dengan Bank of Thailand, yakni mengambangkan nilai mata uang. Nilai tukar rupiah terhadap dollar AS pun mengikuti mekanisme pasar.
Akibatnya, rupiah 'tunduk' terhadap dollar dan tidak lagi bernilai. Sejarawan M.C Ricklefs dalam Sejarah Indonesia Modern (2009) mencatat jika biasanya rupiah berada di kisaran Rp 2.500 per US$, maka setelahnya menurun menjadi 9% menjadi Rp 4.000 per US$. Hingga puncaknya sebesar Rp 17.000 per US$ di awal tahun 1998.
"Bursa saham Jakarta hancur. Hampir semua perusahaan modern di Indonesia bangkrut, tabungan kelas menengah lenyap, dan jutaan pekerja diberhentikan dari pekerjaan mereka," tulis Ricklefs.
Saat itu terjadi rakyat mulai menjerit karena harga kebutuhan hidup dasar mulai meroket naik. Mereka mulai turun gunung ke jalanan bersama para mahasiswa. Pers yang sebelumnya membebek pada pemerintah mulai berani menerangkan situasi sesungguhnya kepada publik. Perlahan situasi yang semula krisis ekonomi berubah menjadi krisis politik.
Situasi ini membuat Presiden Soeharto pening. Dari luar negeri dia mendapat telepon khusus dari Bill Clinton (Presiden AS), Helmut Kohl (Kanselir Jerman), dan Hasmimoto Ryutaro (PM Jepang), yang semuanya mendesak Soeharto atas hal sama: segera mendaftarkan diri menjadi pasien International Monetary Fund (IMF).
Pro dan kontra terjadi di antara Soeharto dan tim keuangannya. Namun, kita tahu bahwa Soeharto, yang terdesak karena seluruh paket ekonominya gagal, kemudian berada di pihak yang mana.
Kamis, 15 Januari 1998 di Cendana, datang Direktur IMF, Michel Camdessus, membawa dokumen Letter of Intent (LoI) untuk ditandatangani Soeharto. Di hadapan awak media, Soeharto terlihat menunduk sembari membubuhkan tanda tangan di dokumen itu.
Sementara Michel, berdiri sambil menyilangkan tangan dengan mata tertuju pada Soeharto. Di mata orang Timur, posisi ini menunjukkan keangkuhan yang seakan memberi makna kalau Indonesia tak berdaya dan telah jatuh ke tangan IMF.
Setelah proses selesai Soeharto melemparkan senyum yang memberi simbol kalau ekonomi negara akan pulih dalam waktu cepat. Dana segar senilai US$ 43 miliar akan datang.
Paket pemulihan ekonomi ala IMF secara garis besar meliputi tiga kebijakan: 1) pengetatan sektor moneter, 2) pembenahan bank, 3) pengetatan fiskal. Namun, kenyataannya semua itu gagal total.
Boediono dalam Ekonomi Indonesia Dalam Lintasan Sejarah (2016) menyebut usai IMF datang, Indonesia justru makin terseret lebih dalam ke pusaran krisis ekonomi dan politik, alih-alih mengalami perbaikan.
Sejalan dengan itu, Agus Widarjono dalam "Evaluasi Kritis Kinerja IMF dalam Krisis Asia" (2003) menyebut resep dan paket pemulihan ekonomi IMF pada kenyataannya tidak cocok diterapkan. Sang dokter (IMF) faktanya salah memberikan diagnosis dan obat terhadap pasiennya.
IMF melihat masalah Indonesia dari kacamata Barat yang sama sekali keliru. Dalam kasus subsidi BBM, misalnya, Agus menyebut paket ekonomi IMF mengharuskan Indonesia mencabut subdisi. Indonesia setuju dan ikut sarannya. Namun, alih-alih terjadi perbaikan, pengurangan subsidi BBM justru telah menyebabkan kerusuhan sosial dan politik, sehingga tidak sejalan dengan semangat pemulihan ekonomi itu sendiri.
"IMF bukan menyelamatkan perbankan, tetapi mendorong ke arah kehancuran. Resep yang kurang pas ini mengakibatkan negara-negara yang menjadi pasien IMF ekonominya semakin parah," tulis Agus.
Indonesia sendiri mengalami penurunan pertumbuhan ekonomi sebesar -13,3%, kredit macet mencapai 48,6%, dan nilai investasi menjadi -33%. Ini semua terjadi pasca bantuan IMF datang. Bahkan utang Indonesia untuk ukuran tahun 1998 sangat menggunung, yakni mencapai US$ 137,42 miliar.
Meski banyak negara 'tunduk' pada IMF, satu-satunya negara Asia yang menolak bantuan IMF adalah Malaysia. PM Malaysia Mahathir Mohammad menolak kehadiran IMF dan melakukan kebijakan fiskal dan moneternya sendiri. Cara ini terbukti ampuh. Tidak seperti Indonesia, krisis di Malaysia tidak berlarut dan membuatnya menjadi negara pertama yang bangkit dari krisis.
Sedangkan, karena manut pada IMF situasi di Indonesia makin tidak karuan. Di sektor politik malah semakin parah. Soeharto tetap mencalonkan diri sebagai Presiden RI Ke-8 dan memilih kroni-kroninya di posisi penting.
Salah satunya dia memasukkan anaknya, Siti Hardiyanti Rukmana sebagai Menteri Sosial dan Bob Hasan sebagai Menteri Perindustrian. Di bidang militer, dia mengangkat mantan ajudannya, Jenderal Wiranto, sebagai Panglima ABRI. Lalu, menantunya, Letjen Prabowo Subianto, diserahi jabatan strategis, Panglima Kostrad.
Namun, susunan posisi seperti itu faktanya tak membawa kebaikan dan justru semakin menurunkan kepercayaan masyarakat yang ingin diadakan reformasi. Semua ini mencapai puncak pada 21 Mei 1998 ketika kekuasaan Soeharto tumbang.
Sementara itu, mengacu pada buku Transitions to Democracy: A Comparative Perspective (2013), Camdessus sendiri pernah mengakui bahwa IMF secara tidak langsung berperan dalam menciptakan kalutnya situasi politik Indonesia yang berdampak pada lengsernya Soeharto. Terlepas dari adanya dugaan skenario tersebut, Indonesia pada akhirnya sukses melunasi utang-utang ke IMF pada 2006.
(mfa/mfa)