Menteri Kecewa! Cabutnya Shell di Proyek Kesayangan Jokowi

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
05 May 2023 13:55
Blok Masela (Dok.Reuters)
Foto: Blok Masela (Dok.Reuters)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Arifin Tasrif mengungkapkan kekecewaannya atas hengkangnya perusahaan minyak dan gas bumi (migas) asal Inggris yakni Shell dari proyek migas raksasa Indonesia Blok Masela, di Maluku.

Sebagaimana diketahui, Shell merupakan pemegang hak partisipasi atau participating interest (PI) 35% di Blok Masela dan 65%-nya adalah milik Inpex Corporation asal Jepang.

Mengungkapkan kekecewaannya, Menteri ESDM Arifin Tasrif menceritakan bahwa dalam hal proyek Blok Masela yang masuk dalam Proyek Strategis Nasional (PSN), Shell dan Inpex sudah diberikan waktu atau tenggat pengelolaan di Blok Masela.

Bahkan, kata Menteri Arifin, pemerintah sudah menaikkan split atau bagi hasil migas serta insentif lainnya. "Iya (kecewa). Tiba-tiba dia kabur, padahal sebelumnya tidak ada tanda-tanda kaburnya. Sesudah disetujui PoD baru kabur, kan dia mikir wah nilainya bisa ini (besar) kan," ungkap Menteri saat ditemui di Gresik, Jawa Timur, dikutip Jumat (5/5/2023).

Dampak mundurnya Shell, pemerintah harus mencari pengganti di proyek gas raksasa tersebut. Saat ini, PT Pertamina (Persero) yang sedang menjajaki untuk masuk ke dalam pengelolaan.

Kabarnya, Pertamina akan membentuk konsorsium bersama dengan Petronas dan akan mengajukan binding offering dalam waktu dekat ini. "Ya kita coba supaya banyak yang gendong sharing. Bisa Pertamina tinggi, bisa equal," tandas Menteri Arifin.

Perjalanan Blok Masela

Blok Masela terletak di Laut Arafura, Selatan Papua dan tidak jauh dari perbatasan Indonesia dengan Australia utara.

Operator Blok Masela, Inpex, menerima kontrak bagi hasil (PSC) selama 30 tahun untuk mengoperasikan blok yang sudah dicanangkan dari zaman pemerintah di 1998 dan kemudian melakukan kegiatan eksplorasi hingga 2000, ketika mereka menemukan ladang gas Abadi yang diperkirakan akan menampung 6,97 triliun kaki kubik (tcf) gas.

Inpex bukan pemegang saham tunggal di blok karena 35% saham saat ini dipegang oleh raksasa minyak Royal Dutch Shell.

Setelah penemuan itu, Inpex kemudian menyerahkan PoD pertama di 2008 ke regulator hulu migas yakni BP Migas, yang sekarang telah berganti nama jadi SKK Migas.

Pada Desember 2010, pemerintah menyetujui PoD pertama, yang mengajukan adopsi Floating LNG (gas alam cair) atau singkatnya sebuah pabrik lepas pantai dengan kapasitas pemrosesan tahunan 2,5 juta ton.

Namun, lima tahun setelah mengikuti penemuan cadangan gas tambahan di blok ini, Inpex meminta untuk merevisi kapasitas produksi tahunan PoD-nya dari 2,5 juta ton menjadi 7,5 juta ton.

Dari Laut Pindah ke Darat

SKK Migas awalnya menetapkan untuk menyetujui revisi PoD, tetapi kemudian gugus tugas tersebut menerima perintah dari Presiden Joko Widodo pada 2016 untuk mengubah rencana offshore (laut) ke onshore (darat), karena opsi yang terakhir dinilai akan memiliki dampak ekonomi yang lebih tinggi bagi masyarakat Maluku, terutama untuk Kepulauan Aru.

Keputusan Jokowi memindahkan fasilitas LNG Masela dari laut ke darat berdampak dengan bengkaknya biaya investasi. Hitungan saat itu jika dibangun di laut atau FLNG biayanya hanya akan sebesar US$ 14 miliar hingga US$ 15 miliar. Sementara jika di darat bisa bengkak US$ 5 miliar atau jadi US$ 20 miliar.

Rencana jangka panjang di laut yang tiba-tiba pindah ke darat membuat negosiasi antara Inpex dan pemerintah semakin alot. Ada beberapa syarat dan permintaan yang harus dipenuhi kedua belah pihak.

Syaratnya adalah:

1. Peningkatan kapasitas kilang dari 7,5 MTPA menjadi 9,5 MTPA dan gas pipa 150 MMSCFD

2. Inpex meminta moratorium kontrak selama 10 tahun, mengingat banyak waktu terbuang dalam hal negosiasi yang membuat kontraktor tak bisa segera memasukkan investasi mereka

3. Inpex meminta besaran IRR 15%

4. Inpex dan Shell meminta pengembalian seluruh biaya yang telah dikucurkan mereka mulai dari eksplorasi hingga pembuatan POD Floating LNG sebesar US$ 1,6 miliar

5. Percepatan proses perizinan, agar bisa diproduksi mulai 2027.


(pgr/pgr)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Menteri Kecewa! Raksasa Migas Ini Bikin 'Peluang' RI Lenyap

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular