CNBC Insight

Cikal Bakal Menteng Jadi Kawasan Elite, Ternyata Begini

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
05 May 2023 16:40
Di Tengah Megahnya Deretan Gedung PDIP-Perindo di Menteng, Ada Juga Tanah Kosong 'Angker' Tak Berpenghuni (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)
Foto: Di Tengah Megahnya Deretan Gedung PDIP-Perindo di Menteng, Ada Juga Tanah Kosong 'Angker' Tak Berpenghuni (CNBC Indonesia/Emir Yanwardhana)

Jakarta, CNBC Indonesia - Ingatan Barrack Obama masih tajam saat mengenang kehidupan masa kecilnya di kawasan Menteng pada 1967-1971. Kala itu, usianya tengah menanjak dari kanak-kanak menuju remaja. Ada dua hal yang melekat di benaknya hingga tua: keseruan bermain sambil telanjang karena hujan, dan tukang sate, bakso dan nasi goreng yang sering lewat di depan rumahnya.

"Bakso, nasi goreng.... enak ya!," kata Obama saat kunjungan di Universitas Indonesia, tahun 2010 lalu.

Obama bermain sambil telanjang karena hujan memang bukan hal aneh. Itu dilakukan juga oleh anak-anak kecil di seluruh kampung. Namun, satu hal yang patut dicermati adalah kawasan tempat tinggal dia yang berada kawasan super elite Jakarta.

Sebagai keluarga ekspatriat, wajar apabila Obama tinggal di Menteng. Sebab, kawasan itu memang sejak awal dirancang untuk orang seperti Obama.

Lanskap Menteng sebagai kawasan elite merupakan salah satu peninggalan pemerintah kolonial Belanda yang ingin mendirikan hunian untuk para orang-orang kaya. Awalnya tanah yang kini bernama Menteng itu sering berpindah kepemilikan.

Salah satu rumah kosong terbengkalai di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)Foto: Salah satu rumah kosong terbengkalai di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)
Salah satu rumah kosong terbengkalai di kawasan elite Menteng, Jakarta Pusat. (CNBC Indonesia/Martyasari Rizky)

Di pertengahan abad ke-18, tanah tersebut dikuasai orang Arab bernama Assan Nina Daud. Lalu berpindah lagi ke tangan kompeni bernama Jacob P. Barends. Setelahnya, jatuh lagi ke tangan orang Arab.

Menariknya mengacu pada buku Menteng: Sejarah Kota Taman Pertama di Indonesia (2001), kepemilikan tersebut, khususnya oleh orang Arab, bukan digunakan untuk kegiatan fungsional, melainkan murni untuk investasi. Artinya, sejak masa kolonial tanah di kawasan ini difungsikan untuk jangka panjang karena dipercaya harganya bakal naik. 

Hingga akhirnya, titik balik penggunaan tanah menjadi hal fungsional terjadi pada 1908. Perusahaan real estate bernama NV De Bouwploeg (baca: boplo) membeli tanah daerah Menteng yang masih alami sebesar 238.870 Gulden. Penyebabnya karena kebutuhan besar Batavia akan ruang hidup yang lebih besar.

Restu Gunawan dalam Gagalnya Banjir Kanal (2010) menyebut perubahan ini membuat tanah swasta tersebut yang masih ditanami padi, kelapa dan rumput segera dibebaskan. Dan, pembebasan ini bertujuan untuk menyediakan permukiman bagi masyarakat golongan atas yang terus bertambah karena masifnya pertumbuhan orang kaya baru berkat suksesnya perdagangan hasil bumi.

Singkatnya, mereka butuh hunian yang mampu mencukupi kebutuhan parlentenya. Awal keseriusan menata kawasan dilakukan oleh arsitek P.A.J Moojen tahun 1910.

Dalam riset "Perkembangan Permukiman Menteng Jakarta pada Masa Kolonial" (2020) oleh Alnoza, Moojen mendapat tugas untuk mengembangkan kawasan Gondangdia dan sekitarnya dengan konsep yang luar biasa mewah, yakni garden city.

"Di daerah Menteng ini kemudian dibangun pemukiman yang diharapkan mempunyai standar sanitasi dan estetik Eropa saat itu (1900-1920). Konsep ini secara umum memperlihatkan sebuah permukiman dengan suasana teduh taman, jalan-jalan yang besar, kanal-kanal dan trotoar yang lebar," tulis Alnoza.

Setelah kawasan itu dibentuk oleh Moojen, seketika nilainya bertambah. Harganya makin mahal. Buku Sejarah Nasional Indonesia (2008) menyebut dalam sekejap pejabat dan kalangan terkemuka langsung mendiami kawasan yang kini disebut Menteng itu. Sedangkan, masyarakat pribumi tidak tinggal di sana karena harga propertinya yang mahal.

Di zaman pendudukan Jepang, rumah-rumah yang kebanyakan milik orang-orang Belanda itu kemudian berpindah tangan, baik ke para pejabat Jepang, seperti Laksamana Maeda, maupun kepada elite Indonesia yang dipekerjakan Jepang seperti Ahmad Subardjo, Sukarno atau Hatta. Setelah 1950, banyak pejabat Republik Indonesia yang mulai tinggal di daerah tersebut. Sampai saat ini kawasan ini termasuk dengan harga tanah tertinggi di DKI Jakarta, dan masih mempertahankan diri sebagai kawasan elite Jakarta.


(mfa/mfa)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Kawasan Menteng Dihuni Orang Kaya, Begini Nasib Rumah Belanda

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular