
Bos Pengusaha Malu-malu Pilih Capres, Tapi Banyak Maunya

Jakarta, CNBC Indonesia - Berbeda dengan buruh yang sudah blak-blakan mendukung salah seorang calon presiden untuk pemilihan umum (pemilu) tahun 2024 mendatang, pengusaha justru masih malu-malu menyampaikan siapa capres yang akan mereka pilih.
Ketua Umum Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo) Hariyadi B. Sukamdani menuturkan pihaknya masih kesulitan untuk mengungkapkan siapa capres yang dipilihnya, karena dari ketiga nama capres yang mencuat semuanya memiliki kompetensi yang hampir sama.
"Dari ketiga itu (Ganjar, Anies, Prabowo) kan mereka semua orang baru ya atau new comer untuk menduduki posisi Presiden. Sebelumnya mereka di jabatan publiknya itu ada yang Gubernur dan ada yang Menteri sehingga, kalau kita bicara dari sisi kompetensi itu hampir semua sama, dan pola bagaimana terjaring 3 nama itu sebetulnya kan patokannya lebih kepada popularitas. Jadi orang tidak secara spesifik melihat rekam jejak dari kinerjanya," ungkap Hariyadi kepada CNBC Indonesia, Rabu (3/5/2023).
Sedangkan, di kalangan pengusaha justru melihat rekam jejak kinerja adalah yang terpenting.
"Kalau kita di sektor riil pengusaha itu sebetulnya masalah rekam jejak kinerja itu penting gitu loh tapi kan ini kita gak bisa ngomong, orang semuanya hampir sama kok sehingga kita kalau ditanya mana yang terbaik dari mereka, kita agak susah bicara," tutur dia.
"Karena dari sisi kinerja hampir semuanya seimbang, gak ada yang terlalu menonjol banget gitu, engga ada. Karena hampir sama, semua punya peluang," pungkasnya.
Sementara itu, Hariyadi membeberkan beberapa PR yang diharapkan pengusaha bisa diselesaikan oleh presiden baru nantinya. Salah satu yang dia harapkan dari capres nantinya adalah bisa membuka banyak lowongan kerja.
"Kalau kita berharap, yang paling pertama, masalah yang paling besar kita hadapi sebetulnya adalah lapangan kerja," ucapnya.
Hariyadi menjelaskan sosok presiden ke depan harus mampu mengatasi permasalahan lapangan kerja. Sebagaimana diketahui, lapangan kerja sektor formal di Indonesia semakin lama semakin menyusut jika dilihat dari proporsional terhadap laju pertumbuhan angkatan kerja baru.
"Jadi ini menjadi hal yang krusial, karena kalau lapangan kerja ini tidak tercipta sesuai dengan proporsi angkatan kerja baru, maka ini akan menjadikan bangsa kita menjadi tidak produktif, karena banyak angkatan kerja kita itu yang bekerja di sektor informal," tuturnya.
![]() INFOGRAFIS, Prabowo, Anies, dan Ganjar, Top 3 Capres 2024 |
Hariyadi menerangkan, kenapa sektor formal menjadi parameter yang sangat penting? Hal ini dikarenakan sektor formal adalah sektor yang menjalankan atau memenuhi semua legalitas usaha. Di mana untuk sektor formal, perusahaan tersebut membayar pajak, menyertakan karyawannya di BPJS, dan perusahaan sektor formal juga biasanya memenuhi segala ketentuan tentang izin usaha, dan lain sebagainya.
"Nah yang ideal itu adalah kalau pekerja di sektor formalnya naik. (Sedangkan) kita itu, total angkatan kerja kita sekarang mungkin di sekitar 145 juta. (Dari total itu) angkatan kerja formal, termasuk TNI, Polri, ASN, Swasta, dan segala macamnya itu kira-kira sekitar 45 juta. Sementara yang 100 jutanya lagi ada di sektor informal," jelas Hariyadi.
"Jadi 2/3 dari jumlah angkatan kerja kita itu yang sebetulnya bisa-bisa dia jadi beban, karena rentan miskin dan sebagainya," tukasnya.
Oleh sebab itu, menurut dia, siapapun nantinya presiden yang akan terpilih di tahun 2024 mendatang harus menjadikan isu lapangan kerja menjadi prioritas utama.
"Nah kalau pekerjaan itu bisa dapat, otomatis angka kemiskinan akan turun, otomatis yang namanya stunting dan sebagainya, masalah-masalah sosial dan kesehatan itu bisa turun, dan juga anggaran pemerintah untuk subsidi juga bisa turun, karena masyarakat makin mandiri, karena dia punya pekerjaan, dia tidak masuk dalam golongan yang rentan miskin tadi," ujarnya.
Kemudian, hal yang kedua yang diharapkan para pengusaha adalah presiden baru yang mampu membuat regulasi yang betul-betul berbasis sains atau scientific based. Maksudnya adalah dengan melihat data dan fakta yang ada di lapangan, yang tentunya dibutuhkan masyarakat.
"Jadi jangan bikin program yang bukan masyarakat butuhkan, jadi konyol, jangan membuat suatu kebijakan yang lebih kepada pertimbangan politis karena itu nanti akhirnya akan membikin programnya pemerintah gak efisien dan akhirnya malah bikin masalah baru, baik masalah secara keuangan, maupun juga timbul efek dari politiknya sendiri," katanya.
"Harus berdasarkan scientific based, memperhatikan apa yang dibutuhkan masyarakat dan program itu semuanya harus mengarah kepada bagaimana meningkatkan produktivitas nasional," imbuh dia.
Hal yang ketiga, yang tidak kalah pentingnya yaitu masalah anggaran. Menurut dia, presiden ke depan harus tepat menentukan anggaran terutama untuk belanja negara/pemerintah.
Untuk itu, Hariyadi menyarankan agar pemerintah melihat kinerjanya bukan dari penyerapannya. Kalau K/L tersebut sudah cukup dengan Rp 5 triliun daripada yang Rp 10 triliun, seharusnya K/L yang berhasil memangkas anggarannya mendapatkan reward, bukannya malah mendapatkan pinalti.
"Kalau sekarang dipinalti, jadi tahun depan dia dikurangi anggarannya. Nah itu gak tepat karena dengan begitu otomatis anggaran kita menjadi boros," ucapnya.
Kemudian yang keempat, adalah komunikasi dengan pemangku kepentingan yang lebih intens, sehingga penyerapan usulan dan berbagai macam dari dunia usaha bisa diperhatikan.
"Jadi jangan pertimbangan yang lebih ke politik, kita berharap komunikasinya karena pemerintah gak mungkin ngerjain semuanya sendiri, dia kan juga butuh dunia usaha. Nah itu harus terjalin kerja sama yang baik. Itu yang menurut saya paling utama, yang harus diperhatikan oleh calon presiden," pungkasnya.
(wur/wur)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Media Asing Sorot Capres RI, Kritik Prabowo, Ganjar, Anies
