CNBC Indonesia Research

Cuaca Panas Mendidih Bak Neraka, Pernah Tewaskan 2.000 Orang

Putu Agus Pransuamitra, CNBC Indonesia
23 April 2023 17:30
Warga menggunakan payung untuk menghindari paparan sinar matahari di kawasan Jakarta, Senin (17/4/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)
Foto: Warga menggunakan payung untuk menghindari paparan sinar matahari di kawasan Jakarta, Senin (17/4/2023). (CNBC Indonesia/Tri Susilo)

Jakarta, CNBC Indonesia - Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) pada 20 Maret 2023 menyatakan fenomena perubahan iklim makin mengkhawatirkan. Kondisi ini dimulai sejak 2016 saat Indonesia mencapai kategori suhu terpanas selama periode 1981-2020.

Kini cuaca sangat panas pun terasa dalam beberapa hari terakhir, khususnya pada siang hari.

"Fenomena perubahan iklim makin mengkhawatirkan lho. Ini bisa dilihat dari maraknya bencana hidrometeorologi di dunia dan suhu udara yang lebih panas," dikutip dari akun twitter BMKG, Sabtu (20/4/2023).

BMKG telah mengimbau masyarakat Indonesia menggunakan tabir surya (sunscreen) karena tingginya indeks sinar ultraviolet (UV).

Cuaca yang sangat panas bisa berdampak buruk bagi kesehatan, terutama kulit.

Di India bahkan lebih parah, dalam beberapa tahun terakhir cuaca panas lansung menelan korban jiwa.

Pertengahan April lalu, sebanyak 11 orang dilaporkan tewas di Mumbai dalam satu acara penghargaan yang disponsori oleh pemerintah. Cuaca yang panas dan lamanya menunggu acara tersebut menjadi pemicu 11 orang kehilangan nyawanya.

India memang sudah langganan akan cuaca atau gelombang panas. Berdasarkan data Statista yang paling parah terjadi pada 2015 ketika 2.081 orang dilaporkan meninggal dunia.

Paparan sinar UV yang berlebihan bisa berdampak buruk bagi kesehatan manusia. Masalah-masalah kesehatan bisa muncul, seperti kulit terbakar hingga kanker kulit.

Bahkan, studi yang dipublikasikan di jurnal Science Advance pada Januari lalu menyebutkan radiasi sinar UV menyebabkan kepunahan massal di dunia sekitar 250 juta tahun yang lalu. Saat itu, lebih dari 80% makhluk hidup di laut dan darat punah, sekaligus menjadi akhir Periode Permian.

Sebelumnya para peneliti menemukan kepunahan tersebut terjadi akibat erupsi gunung berapi sangat besar yang menutupi wilayah Siberia Rusia saat ini. Erupsi tersebut diperkirakan membuat lapisan batu bara meledak, abu beracun naik dan memenuhi atmosfer dan memicu perubahan iklim.

Pada akhirnya, abu tersebut turun ke bumi dan meracuni laut, sehingga memicu kepunahan makhluk hidup di sana.

Namun, pada studi sebelumnya itu para peneliti tidak bisa secara akurat mengukur bagaimana binatang dan tumbuhan di darat ikut punah.

Studi terbaru menunjukkan ada peran besar dari radiasi sinar UV-B terhadap kepunahan tersebut. Erupsi gunung membuat lapisan ozon di atmosfer menipis yang membuat sinar UV-B mudah menembus masuk ke bumi.

Untuk diketahui, ada 3 jenis sinar ultraviolet, yakni UV-A, UV-B dan UV-C. Yang membedakannya adalah panjang gelombang, dimana UV-A yang paling panjang sedangkan UV-C paling pendek.

Sinar UV-C tidak sampai ke bumi, tertahan oleh lapisan atmosfer, sementara UV-B dan UV-A mampu menembus atmosfer.

Bahkan sinar UV-A mampu menembus lapisan terdalam kulit manusia (dermis), sementara UV-B hanya mampu sampai lapisan kulit luar (epidermis). Artinya, sinar UV-A lebih berbahaya ketimbang UV-B.

Kembali lagi ke 250 juta tahun yang lalu, sinar UV-B disebut menjadi salah satu penyebab kepunahan massal. Hal ini terungkap dari fosil butiran serbuk sari tumbuhan yang ditemukan di Tibet.

"Tanaman membutuhkan sinar matahari untuk fotosintesis, tetapi juga perlu melindungi diri terutama serbuk sari dari efek berbahaya sinar radiasi," kata Dr. Barry Lomax penulis studi tersebut dari University of Nottingham, sebagaimana dilansir Independent, pertengahan Januari lalu.

Dr. Lomax menyebut tanaman merespon UV-B dengan memuat dinding luar butiran serbuk sari dengan senyawa yang berfungsi seperti tabir surya, sehingga melindungi sel yang rentan untuk kesuksesan reproduksi.

Dampak yang ditimbulkan dari paparan UV-B juga disebut memperburuk pemanasan global saat itu. Kemudian tanaman menjadi sulit dicerna, hal ini memperburuk kondisi hewan pemakan tumbuhan hingga akhirnya terjadi kepunahan massal.

"Studi ini memberikan bukti empiris paparan UV lebih tinggi pada saat kepunahan massal Permian. Paparan radiasi susah disebutkan sebagai skenario kepunahan massal sebelumnya, tetapi baru kali ini hal itu benar-benar dapat dibuktikan," kata Vivi Vajda, ahli paleobiologi di Museum Sejarah Alam Swedia, yang tidak terlibat dalam penelitian tersebut, sebagaimana dikutip Eos pertengahan Februari lalu.

CNBC INDONESIA RESEARCH

[email protected]


(pap/pap)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Suhu di Jakarta Bak 'Neraka' saat Siang Hari, BMKG Buka Suara

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular