CNBC Insight

Bukti Sahih Kiamat Makin Dekat, Bumi Kian Sesak

MFakhriansyah, CNBC Indonesia
06 May 2023 06:40
Orang-orang berbelanja di pasar di Chennai pada 25 April 2023. - India akan menyusul China sebagai negara terpadat di dunia dalam beberapa minggu mendatang, mencapai hampir 1,43 miliar orang, kata Perserikatan Bangsa-Bangsa pada 24 April. (SATISH BABU/AFP via Getty Images)
Foto: Orang-orang berbelanja di pasar di Chennai pada 25 April 2023. (AFP via Getty Images/SATISH BABU)

Jakarta, CNBC Indonesia - Kilatan lampu kamera berbagai media massa dan pejabat organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) turut hadir menyambut kelahiran anak pertama dari Maria Margarette Villorente pada Selasa, 15 November 2022 tepat tengah malam.

Keriuhan yang terjadi di Rumah Sakit Dr. Jose Fabella Memorial, Tondo, Filipina, itu disebabkan karena kelahirannya bukan hanya dirayakan kedua orang tua, tetapi juga seluruh dunia. Sebab, bayi bernama Vinice Mabansag tersebut secara simbolis terpilih oleh PBB mewakili tonggak populasi global di muka bumi yang genap berjumlah 8 miliar.

Perayaan ini memang terkesan nyeleneh. Tapi sesungguhnya memperingatkan bahwa populasi dunia sudah makin banyak. Bumi pun kian sesak.

Manusia yang hidup sebelum tahun 1800-an mungkin tidak bisa membayangkan kalau bumi sudah sepadat ini. Saat itu populasi dunia hanya ratusan juta saja. Barulah saat revolusi industri terjadi populasi manusia meningkat menjadi 1 miliar jiwa. Dan terus berlipat ganda secara cepat dalam kurun 2,5 abad.

Bahkan, dalam kurun 100 tahun terakhir, populasi dunia melonjak empat kali lipat. Salah satu fasenya terlihat pada kenaikan pesat tak terkira populasi bumi tujuh miliar (2011) ke delapan miliar (2022) yang hanya 11 tahun.

PBB berani mengeluarkan prediksi bahwa di tahun 2030 manusia mencapai 8,5 miliar, lalu meningkat lagi menjadi 9,7 miliar di tahun 2050. Jumlah ini diprediksi akan bertambah menjadi 11,2 miliar pada tahun 2100.

Namun, ini hanyalah prediksi, bisa terealisasi atau tidak. Meski begitu, jika melihat pada pesatnya populasi negara seperti India atau Nigeria yang saat ini sangat pesat, nampaknya hal itu bisa saja menjadi kenyataan.

Lalu, apa jadinya jika benar populasi bumi menginjak angka tersebut?

Jawabannya tentu makin tidak karuan. Aspek utama yang menjadi sorotan adalah tentang asupan makanan alias ketersediaan bahan pangan. Mengacu paparan Millennium Alliance for Humanity and Biosphere Stanford University bumi saat ini secara perhitungan masih "cukup" untuk memberi makan 8 miliar mulut, meski menurut World Food Program (WFP) ada 828 juta orang yang kelaparan tiap harinya.

Masalahnya, tidak ada satupun yang menjamin keberlangsungan ketahanan pangan global. Apakah bumi akan mampu memberi makan asupan 11 miliar orang? Tentu sulit.

Praktis, bertambahnya populasi pasti memaksa manusia mencari lahan baru untuk hunian mereka. Habitat hewan dan tumbuhan pasti diberangus untuk tempat tinggal. Dua makhluk hidup tersebut, yang jadi sumber makanan, kemudian rusak dan musnah oleh manusia.

Tak hanya itu, perubahan iklim menjadi aspek yang tak kalah penting. Manusia, menurut National Geographic, adalah individu yang aktivitasnya merusak lingkungan. Segalanya menghasilkan zat karbon yang memantik perubahan iklim.

Jika ini sudah terjadi, maka akan merembet ke permasalahan lain, sebut salah satunya menurunnya kondisi kesehatan. Terlebih ada prediksi seram yang menyebut bahwa perubahan iklim akan membuka pintu kebebasan bagi virus purba yang selama ini terbenam di es kutub.

Sampai saat ini memang upaya memperlambat 'kiamat' iklim sedang terjadi. Namun, sifatnya tidak bisa menghentikan. Dari sini, lantas muncul pendapat menarik dari seorang naturalis dan penulis A Life on Our Planet (2020), David Attenborough: "Daripada mengendalikan lingkungan untuk kepentingan penduduk, mungkin sudah saatnya kita mengendalikan penduduk untuk memungkinkan kelangsungan lingkungan hidup."

Tersirat pernyataan tersebut mengajak manusia memikirkan kembali upaya menambah anak. Atau dalam bahasa lain melakukan child free atau keputusan untuk tidak bereproduksi.

Mereka yang mendukung langkah ini biasanya mendasarkan argumen bahwa kelahiran anak berdampak pada meningkatnya emisi karbon. Salah satu riset ilmiahnya pernah dituliskan dua peneliti Oregon State University berjudul "The Climate Mitigation Gap" (2017). Disebutkan bahwa setiap manusia yang tidak bereproduksi akan mengurangi 58,6 ton karbon setiap tahunnya.

Mereka berupaya memberi landasan bagi sekelompok orang bahwa memiliki anak di tengah memburuknya situasi iklim akan membuat masa depannya sengsara. Adanya banjir bandang dan kebakaran hutan, misalnya, menambah keraguan mereka akan rasa aman pada anak. 

Meski begitu, penelitian dan anggapan ini terkesan tendesius. Laporan Washington Post berjudul "Should you not have kids because of climate change?" (2022) menyebut, kekhawatiran seperti ini tidak memiliki jawaban mudah dan melahirkan dua opsi: tidak punya anak atau tetap punya anak karena mereka yakin generasi akan menciptakan lingkungan berkelanjutan. 

Lebih lanjut, laporan Founders Pledge (2020) cukup memberikan pencerahan atas opsi ini. Tertulis bahwa perubahan iklim sebetulnya sudah pasti akan terjadi seiring gaya hidup manusia. Namun, penting untuk diingat pertimbangan pengetatan kebijakan pemerintah atas hal ini juga bakal makin ketat. 

Maksudnya, jika kita melahirkan anak hari ini maka pasti selama hidup anak tersebut akan berkutat dengan aturan keras soal iklim, seperi kewajiban bertransportasi umum dan penggunaan kendaraan listrik.

Lebih lanjut, laporan Vox berjudul "Having Fewer Kids Will Not Save the Climate" (2020) juga memprediksi kemungkinan pengetatan aturan tersebut. Terlebih, kini sudah banyak negara yang menyiapkan teknologi untuk bersiap menuju energi hijau. 

Pada dasarnya, perubahan iklim musykil untuk ditangkal. Sebab, iklim akan terus berubah.

"Bahkan jika kita secara dramatis mengurangi angka kelahiran - bahkan jika Anda dan semua orang yang Anda kenal tidak memiliki anak - iklim kita akan tetap hancur jika kita tidak beralih dari bahan bakar fosil," tulis jurnalis Vox, Sigal Samuel.

Terpenting, perlu diingat bahwa anak-anak bukan hanya penghasil karbon, tetapi juga mampu membawa kebahagiaan dan harapan. Terkadang aspek inilah yang memotivasi kita untuk melakukan perubahan terhadap dunia. 


(mfa/luc)
[Gambas:Video CNBC]
Next Article Video: 'Kiamat-kiamat Kecil' di Bumi Akibat Perang Dunia

Tags

Related Articles
Recommendation
Most Popular