Nikel di Pulau Obi

Mimpi Jokowi Nyata, Pabrik Nikel Terbesar Pulau 'Harta Karun'

Suhendra, CNBC Indonesia
Rabu, 12/04/2023 10:09 WIB
Foto: Harita Group Pulau Obi Maluku Utara. (Dok. Harita Group)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pekan lalu, saya sempat berbincang panjang lebar dengan sosok M, salah satu pekerja operasional perusahaan tambang di Pulau Obi, Halmahera Selatan, Maluku Utara. Di pulau ini ada pabrik nikel sulfat terbesar, yang diklaim terbesar di dunia.

Dua tahun lalu ia memutuskan resign dari perusahaan tambang nikel di Sulawesi. Ternyata alasannya cukup menarik, M rela meninggalkan anak istrinya demi sebuah mimpi petualangan baru berkarier di PT Trimegah Bangun Persada (TBP) Tbk di bawah Harita Group yang beroperasi di Pulau Obi, yang banyak menyimpan 'harta karun' nikel.

Pengembangan pabrik smelter dengan teknologi High Pressure Acid Leach (HPAL) di Obi menjadi daya tarik mimpinya, ia punya idealisme sebagai pekerja tambang tak hanya menghasilkan barang 'mentah' nikel.


Beberapa tahun terakhir, glorifikasi soal hilirisasi sumber daya alam termasuk nikel menjadi impian besar Presiden Jokowi. Seringkali, Jokowi berbicara mengakhiri gaya 'VOC' menjual barang mentah, dan Jokowi pun konkret dengan melarang ekspor bijih nikel sejak Januari 2020.

"Nggak bisa lagi kita mengekspor dalam bentuk bahan mentah, mengekspor dalam bentuk raw material, nggak. Begitu kita dapatkan investasinya, ada yang bangun, bekerja sama dengan luar dengan dalam atau pusat dengan daerah, Jakarta dengan daerah, nilai tambah itu akan kita peroleh," kata Jokowi.

Impian Jokowi ini perlahan mulai terlihat nyata dalam meningkatkan nilai tambah bahan mentah nikel menuju produk hilir seperti baterai kendaraan listrik. Pekan lalu, CNBC Indonesia dan media lainnya mengunjungi kawasan pabrik pemurnian nikel di bawah Harita Group di Pulau Obi, yang mampu mengolah bahan mentah nikel dengan kadar rendah (Limonit) dan bahan mentah nikel dengan kadar tinggi (Saprolit).

Saprolit diolah dengan teknologi Rotary Kiln Electric Furnace (RKEF) yang menghasilkan ferronikel (FeNi) yang kadar nikelnya masih 12% dan 80% besi, dengan produk akhirnya seperti stainless steel. Sedangkan bahan mentah Limonit diolah dengan teknologi Hidrometalurgi High Pressure Acid Leach (HPAL).

Teknologi HPAL mampu mengolah bahan mentah nikel kadar rendah yang selama ini tidak diolah menjadi produk Mixed Hydroxide Precipitate (MHP) dengan kadar nikel 39% lalu proses berikutnya dapat diolah menjadi Nikel Sulfat (NiSO4) dan Kobalt Sulfat (CoSO4) yang merupakan bahan baku penting baterai kendaraan listrik.

Pertama di Indonesia dan Terbesar Dunia

Sejak Juni 2021 PT Halmahera Persada Lygend (HPAL) yang menjadi afiliasi bisnis PT TBP Harita Group memulai pengolahan dan pemurnian bijih nikel dengan teknologi HPAL dengan produksi MHP, setelah proses konstruksi sejak Agustus 2018. Kapasitas produksi MHP di HPAL sekitar 365 ribu ton.

PT Vale Indonesia baru memulai groundbreaking proyek smelter MHP di Blok Pomalaa di Kolaka, Sulawesi Tenggara, November 2022 lalu. Proyek in ditargetkan baru rampung pada 2025 dengan kapasitas 120 ribu ton.

"Harita yang pertama produksi MHP di Indonesia," kata Technical Support Department Head Halmahera Persada Lygend (HPAL) Rico Windy Albert.

Foto: Produk MHP produk turunan nikel ore di Pulau Obi (CNBC Indonesia/Suhendra)

Harita Group terus masuk ke lebih hilir nikel, dengan memastikan uji coba produksi turunan dari MHP bentuk cair yaitu Nikel Sulfat (NiSO4) dengan kandungan nikel 22% dan Kobalt Sulfat (CoSO4) di pabrik mereka di Pulau Obi mulai berhasil dan sesuai dengan spesifikasi. Rencananya pada Semester I-2023 sudah bisa diproduksi komersial, dengan kapasitas produksi untuk NiSO4) 240 ribu ton per tahun dan CoSO4 sebesar 30 ribu ton per tahun.

"Fasilitas ini kami menjadi pabrik nikel sulfat pertama di Indonesia dan terbesar di dunia," kata Director of Health, Safety and Environment PT Trimegah Bangun Persada Tbk Tonny H. Gultom.

Foto: Produk Nikel Sulfat produksi pulau Obi (CNBC Indonesia/Suhendra)

Produksi Nikel Sulfat, memang tak hanya di Pulau Obi Indonesia, tapi juga diproduksi di China, Australia, dan Kongo, tapi menurut Tonny produksinya tak sebesar di Pulau Obi.

Masih Panjang

Namun, mimpi Jokowi tentu masih panjang karena apa yang sudah dilakukan di Pulau Obi masih butuh proses lebih jauh lagi untuk menghasilkan produk nikel lebih hilir, bahkan sampai pada sel baterai untuk kendaraan listrik.

Sebelum 2016, Pulau Obi hanya menghasilkan Nickle Ore, karena baru pada 2016 baru terjadi produksi perdana produk ferronikel (FeNi) sebagai produk hilirisasi nikel saprolit di Harita Group.  

Catatan BKPM, proyeksi nilai tambah dari produk turunan nikel sangat luar biasa, dari limonite menjadi Nikel Sulfat menghasilkan nilai tambah sampai 11,4 kali lipat, lalu bila sudah menjadi produk Prekursor nilai tambahnya menjadi 19,4 kali lipat, lalu lebih hilir lagi bila menjadi produk Katoda nilai tambah menjadi 37,5 kali lipat, dan terakhir bila sudah menjadi sel baterai listrik nilai tambah mencapai 67,7 kali lipat.

Untuk menuju sampai produk sel baterai masih butuh perjalanan panjang, butuh keberanian pemerintah yang makin kuat dengan tak lagi membuka izin pembangunan smelter tahap I atau hanya menghasilkan produk perantara saja seperti feronikel atau MHP.

Sehingga akan merangsang investasi smelter kategori produk nikel yang lebih hilir sehingga para investor semakin yakin dan mau berinvestasi. Tentu ini bukan hanya mimpi Jokowi, tapi juga pekerja tambang seperti M di awal cerita tadi.

Simak cerita Pulau Obi dan smelter nikel pada artikel CNBC Indonesia berikutnya.


(hoi/hoi)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ahli UGM Sebut Kerugian Tambang Raja Ampat Lampaui Kasus Timah