Pak Jokowi! Isi Kantong Orang RI Masih Seret, Nih Buktinya
Jakarta, CNBC Indonesia - Ekonomi Indonesia memang tumbuh gemilang dalam dua tahun terakhir selepas krisis pakibat pandemi covid-19. Meski demikian, kemampuan daya beli masyarakat masih sangat terbatas di tengah tingginya ketidakpastian.
Data teranyar yang menunjukkan situasi tersebut adalah inflasi. Badan Pusat Statistik (BPS) mengumumkan inflasi Maret 0,18% (month to month/mtm).
Inflasi memang menanjak dibandingkan pada Februari 2023 yang menyentuh 0,16% (mtm). Namun, inflasi terbilang sangat rendah dibandingkan periode Ramadan tahun-tahun sebelumnya. Dalam enam tahun terakhir, inflasi pada periode Ramadan menembus 0,42%.
Secara tahunan (year on year/yoy), inflasi pada Maret mencapai 4,97%. terendah sejak delapan bulan terakhir.
"Memang permintaan menjelang Ramadan ini tidak setinggi seperti sebelum pandemi karena konsumsi masyarakat belum 100%. Dari sisi permintaan belum tinggi," tutur Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa BPS, Pudji Ismartini, pada konferensi pers Senin (3/4/2023).
Inflasi inti pada Maret tahun ini tercatat 0,16% (mtm) dan 2,94% (yoy). Inflasi inti tahunan lebih rendah dibandingkan pada Februari yakni 3,09%.
Semakin melandainya inflasi inti inilah yang mesti diwaspadai. Ekonom senior Bank Central Asia (BCA) Barra Kukuh Mamia menjelaskan melandainya inflasi inti bisa menunjukkan banyak hal, termasuk melemahnya daya beli.
"Ada banyak faktor dari melandainya inflasi inti, salah satunya adalah melemahnya daya belu. Big data kami (BCA) menunjukkan pengeluaran dan penerimaan dunia usaha telah memperlihatkan penurunan sepanjang Maret," tutur Barra, dalam laporannya Ramadan Inflation, but Without the Core.
Namun, Barra menambahkan melandainya inflasi inti pada Maret 2023 juga bisa disebabkan oleh tingginya basis perhitungan pada maret 2022. "Faktor lainnya adalah melandainya inflasi dari kebijakan moneter, seperti tercermin dari mulai turunnya kecepatan pertumbuhan kredit dalam beberapa bulan terakhir," imbuhnya.
Sejumlah data memang menunjukkan jika aktivitas belanja masyarakat sebelum Ramadan masih 'sepi'. Pertumbuhan uang beredar pada Februari atau sebulan menjelang puasa bahkan melandai ke 7,9% (year on year/yoy), dari 8,2% (yoy) pada Januari 2022. Padahal, pertumbuhan uang beredar biasanya melonjak menjelang puasa.
Data Bank Indonesia (BI) juga menunjukkan penjualan eceran pada Februari turun 1,4% (mtm) pada Februari 2023, melanjutkan kontraksi pada bulan sebelumnya. Kontraksi dua bulan beruntun jelas tidak biasa menjelang Ramadan.
Sebagai catatan, inflasi Indonesia bisanya mencapai puncak pada Ramadan dan Lebaran karena melesatnya permintaan akan barang dan jasa. Pengecualian terjadi pada 2020 dan 2021 di mana pada periode tersebut penyebaran kasus Covid-19 masih sangat kencang.
Pada Ramadan 2022, misalnya, inflasi tercatat 0,68% sementara itu pada Ramadan 2019, misalnya, inflasi Ramadan mencapai 0,62% sementara pada 2018 sebesar 0,54%.
Namun, kepala ekonom Bank Mandiri Andry Asmoro mengatakan salah satu penyebab masih rendahnya inflasi Ramadan adalah karena terkendalinya harga pangan.
"Soalnya (Ramadan) ini juga karena barengan dengan musim panen di Maret dan April. Inflasi pangan gak meledak ternyata," ujar Andry, kepada CNBC Indonesia.
BPS mencatat inflasi makanan, minuman, dan tembakau pada Maret 2023 tercatat 0,35% (mtm), lebih rendah dibandingkan pada Februari 2023 yang tercatat 1,16% (mtm).
Salah satu yang menekan inflasi pangan adalah harga beras. Harganya sedikit melandai di beberapa kota karena ada panen raya.
Dari 90 kota Indeks Harga Konsumen (IHK), beras mengalami kenaikan naik di 60 kota. Sebanyak 29 kota IHK mengalami penurunan sementara satu kota stagnan.
(mij/mij)