Internasional

Israel di Titik Kritis, Dikecam Dunia-Terancam Perang Saudara

Thea Fathanah Arbar, CNBC Indonesia
Kamis, 30/03/2023 16:10 WIB
Foto: REUTERS/NIR ELIAS

Jakarta, CNBC Indonesia - Kekacauan terjadi di Israel. Hal ini dipicu oleh rencana reformasi pengadilan yang dicetuskan pemerintah Perdana Menteri Israel Benjamin Netanyahu akhir pekan lalu, yang membuat situasi chaos dan hampir terjadi perang saudara.

Sejak Minggu hingga Senin lalu, negeri Yahudi itu diguncang protes besar-besaran warganya, di mana sebanyak 80.000 orang berkumpul di Tel Aviv meneriakkan yel-yel demokrasi. Sejumlah massa memblokir jalan dan jembatan, melakukan pembakaran, serta beberapa bentrok dengan polisi berkuda.

Hal ini terjadi setelah Netanyahu memecat menteri pertahanan Yoav Gallant. Pasalnya, Gallant menentang peradilan yang dicetuskan Netanyahu.


"PM Benjamin Netanyahu telah memutuskan untuk mencopot Menteri Pertahanan Yoav Gallant dari jabatannya," bunyi pernyataan pemerintah sebelum demo terjadi.

Gallant diketahui mendesak penghentian reformasi keadilan Sabtu malam saat Netanyahu berada di luar negeri dalam kunjungan resmi ke Inggris. Gallant mengatakan bahwa melanjutkan proposal dapat mengancam keamanan Israel.

Reformasi peradilan sendiri telah menjadi landasan pemerintahan Netanyahu serta aliansi ekstrem kanan yang mulai menjabat pada akhir Desember. Netanyahu menyatakan perombakan peradilan adalah kunci untuk memulihkan keseimbangan antara cabang-cabang pemerintahan dalam sistem yang diyakini memberi hakim terlalu banyak kekuasaan atas pejabat terpilih.

Dalam undang-undang baru ala Netanyahu, kendali penuh peradilan akan berada di tangan pemerintah atas penunjukan yudisial. Ini akan melemahkan Mahkamah Agung negara hingga pada titik efektif mengakhiri perannya sebagai pengawas kekuasaan eksekutif dan legislatif.

"Pemerintah berpendapat perubahan itu penting untuk mengendalikan Mahkamah Agung, yang mereka anggap picik, elitis, dan tidak lagi mewakili rakyat Israel," tulis proposal Netanyahu.

Hal ini kemudian menimbulkan protes warga selama berbulan-bulan. Pemogokan juga terjadi, termasuk oleh tentara yang dianggap dapat merusak keamanan Israel, di tengah masih terus panasnya hubungan dengan Palestina.

Ancaman Perang Saudara

Tak hanya Gallant, dalam update terbaru, menteri lain di pemerintah Israel juga menyarankan agar reformasi peradilan disetop. Perlu diketahui, semuanya anggota partai Likud asal Netanyahu.

"Ketika rumah terbakar, Anda tidak bertanya siapa yang benar. Tetapi tuangkan air dan selamatkan penghuninya," kata Menteri Kebudayaan dan Olahraga Miki Zohar.

Menteri Ekonomi Nir Barkat, mengatakan tak menghentikan reforms peradilan akan menyebabkan perang saudara. Negara itu, katanya, sudah berada di jurang.

"Reformasi diperlukan dan kami akan melakukannya, tetapi tidak dengan mengorbankan perang saudara," katanya.

Antisipasi Netanyahu

Setelah adanya unjuk rasa besar-besaran serta saran dari banyak pihak, dalam update Senin malam, Netanyahu akhirnya dilaporkan akan menghentikan rencananya merombak sistem peradilan di negara itu. Ini dikatakannya dalam konferensi pers, sebagaimana dimuat AFP pada Selasa (28/3/2023).

"Dari rasa tanggung jawab nasional, dari keinginan untuk mencegah perpecahan di antara rakyat kami, saya telah memutuskan untuk menghentikan pembacaan kedua dan ketiga dari RUU tersebut untuk memberikan waktu untuk berdialog," katanya.

"Kita tidak akan membiarkan perang saudara," tegasnya.

Hubungan dengan AS yang Menegang

Hubungan antara Israel dan Amerika Serikat (AS) juga sedang memanas. Kedua pemimpin negara yang awalnya bersahabat kini beradu argumen terkait gonjang-ganjing yang terjadi di negeri Yahudi tersebut.

Ini dimulai sejak Presiden AS Joe Biden menyerukan Netanyahu untuk meninggalkan usulan perombakan yudisial yang menyebabkan protes besar-besaran di seluruh Israel.

"Saya harap dia menghindarinya," kata Biden kepada wartawan saat berkunjung ke North Carolina, dikutip dari The Guardian. "Seperti banyak pendukung kuat Israel, saya sangat prihatin ... Mereka tidak dapat melanjutkan jalan ini, dan saya telah menjelaskannya."

Menanggapi hal tersebut, Netanyahu telah menolak seruan Biden. Ia menjawab dirinya tidak membuat keputusan berdasarkan tekanan dari luar negeri.

"Israel adalah negara berdaulat yang membuat keputusannya atas kehendak rakyatnya dan tidak berdasarkan tekanan dari luar negeri, termasuk dari sahabat," tegas Netanyahu.

"Saya telah mengenal Presiden Biden selama lebih dari 40 tahun, dan saya menghargai komitmennya yang telah berlangsung lama kepada Israel," tambahnya.

Adapun, dirinya telah menunda proposal tersebut setelah sejumlah besar orang tumpah ruah ke jalan-jalan. Gedung Putih awalnya menyarankan Netanyahu untuk 'berkonsultasi' dengan Biden terkait rencana tersebut.

Biden berharap Netanyahu melakukan kompromi yang tulus. Meskipun begitu, Biden menambahkan dia tidak mempertimbangkan untuk mengundang pemimpin Israel ke Gedung Putih, setidaknya "tidak dalam waktu dekat".

AS sebelumnya juga sempat mengecam Israel. Dalam pernyataan bersama pada Februari 2023, AS, Jerman, Inggris, Prancis, dan Italia mengecam keputusan Israel yang menyatakan akan mengizinkan beberapa pemukiman ilegal Yahudi di Tepi Barat (West Bank) yang diduduki.

Tak hanya itu, otoritas Israel juga mengatakan akan membangun hampir 10.000 unit rumah baru di dalam permukiman yang sudah ada di wilayah tersebut.

"Kami sangat menentang tindakan sepihak ini yang hanya akan memperburuk ketegangan antara Israel dan Palestina dan merusak upaya-upaya untuk mencapai solusi dua negara yang telah dinegosiasikan," kata pernyataan tersebut.

Negara-negara Barat menegaskan kembali dukungan mereka untuk perdamaian yang komprehensif, adil, dan abadi di Timur Tengah melalui negosiasi langsung antara Israel dan Palestina.

Ditikung Iran

Selain gonjang-ganjing reformasi yudisial, Israel juga menghadapi masalah lain. Negara tersebut 'ditikung' Iran terkait rencana membangun hubungan dengan negara-negara Arab.

Sebagaimana diketahui, Iran dan Arab Saudi sepakat memulihkan hubungan diplomatik kedua negara pada awal Maret lalu. Pemulihan kedua negara diperantarai oleh China.

Kondisi ini tentu membuat posisi Israel tak enak. Iran merupakan salah satu musuh besar Israel, sementara Israel sangat ingin melakukan normalisasi hubungan dengan Arab Saudi.

Seorang pejabat senior Israel menyalahkan pemulihan hubungan Saudi-Iran pada "kelemahan Amerika dan Israel" yang diproyeksikan di bawah pemerintahan Biden dan pemerintahan Naftali Bennet dan Yair Lapid

Keputusan Arab Saudi untuk terlibat dengan saingan regionalnya telah membuat Israel sendirian karena memimpin tuduhan isolasi diplomatik Iran dan ancaman serangan militer sepihak terhadap fasilitas nuklir Iran. Uni Emirat Arab (UEA) juga melanjutkan hubungan formal dengan Iran tahun lalu.

"Ini merupakan pukulan terhadap gagasan dan upaya Israel dalam beberapa tahun terakhir untuk mencoba membentuk blok anti-Iran di kawasan itu," kata Yoel Guzansky, pakar Teluk Persia di Institute for National Security Studies, sebuah think-tank Israel.

"Jika Anda melihat Timur Tengah sebagai permainan zero-sum, yang dilakukan Israel dan Iran, kemenangan diplomatik untuk Iran adalah berita yang sangat buruk bagi Israel," tambahnya.

Iran awalnya adalah sekutu Israel. Setelah Israel merdeka pada 1948, kedua negara sempat mengembangkan hubungan karena alasan strategis dan ekonomi.

Tapi hubungan keduanya mendadak pecah setelah monarki digulingkan pada 1979. Rezim teokratis baru Iran memberi AS label sebagai "Setan Besar" dan melabeli Israel sebagai "Setan Kecil". Rezim Iran juga meninggalkan Israel dan mendukung perjuangan Palestina.

Selama empat dekade terakhir, Iran menghindari perang besar-besaran dengan Israel atas Palestina, tapi pihaknya juga berulang kali memperingatkan konsekuensi serius jika Israel menyerang Republik Islam. Alhasil, permusuhan antara Iran dan Israel kian meningkat hingga saat ini.


(luc/luc)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Pertahanan Iran Dihancurkan Israel, Kini Sistem Baru Disiapkan