Nih! 5 Fakta Baru dari Mahfud soal Transaksi Rp349 T

Arrijal Rachman & Hadijah Alaydrus, CNBC Indonesia
Kamis, 30/03/2023 12:20 WIB
Foto: KOMISI III DPR RI RDPU Dengan Komite Koordinasi Nasional Pencegahan & Pemberantasan TPPU. (Tangkapan Layar Youtube TVR Parlemen)

Jakarta, CNBC Indonesia - Suasana rapat dengar pendapat umum antara Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) dan Komite Tindak Pengendalian Pencucian Uang (TPPU) berlangsung cukup panas, kemarin (29/3/2023). Rapat yang berlangsung sejak sore hingga hampir tengah malam tersebut membahas transaksi mencurigakan Rp 349 triliun.

Rapat diwarnai dengan pertanyaan anggota Komisi III yang bingung dengan perbedaan antara paparan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati dan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan HAM.

Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) mengaku terkejut dengan pemaparan Menteri Koordinasi Bidang Perekonomian Mahfud MD yang berbeda dengan Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terkait dengan transaksi mencurigakan Rp 349 triliun.


Anggota Komisi III DPR F-Demokrat Benny K. Harman mengatakan bahwa pihaknya menerima informasi dari paparan Menteri Keuangan di Komisi XI DPR dan hasilnya berbeda dengan paparan versi Mahfud MD.

"Masyarakat melihatnya itu Kemenkeu isinya maling semua, persepsinya gitu," kata Benny, dalam rapat tersebut.

Namun, mendengar paparan Menteri Keuangan, ternyata Rp 349 triliun ternyata tidak semua menyangkut oknum di Kemenkeu. Data itu juga merupakan kompilasi dari 14 tahun terakhir.

"Kita berharap ada keterangan yang jelas," tegasnya.

Sayangnya, rapat tersebut hanya dihadiri oleh Mahfud MD dan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana. Sri Mulyani berhalangan hadir karena ada rangkaian acara pertemuan antara menteri keuangan dan gubernur bank sentral se-Asia di Bali.

Absennya Sri Mulyani ini sempat membuat panas jalannya rapat. Namun, rapat tetap berlanjut tanpa Sri Mulyani yang merupakan anggota dari Komite TPPU.

Rapat ini membuka banyak fakta baru dari babak baru transaksi gelap Rp 349 triliun di Kementerian Keuangan. Berikut ini rangkuman faktanya:

1. Data Sri Mulyani Salah

Dengan gamblang, Mahfud MD mengatakan Sri Mulyani ketika berbicara di Komisi XI dua hari lalu menyampaikan keterangan data yang berbeda dari data yang dipegangnya.

Misalnya, terkait data nominal transaksi mencurigakan yang diduga melibatkan pegawai Kemenkeu dan pihak lain senilai Rp 35 triliun, hanya disampaikan Sri Mulyani sebesar Rp 3,3 triliun.

Selain itu, terkait data temuan transaksi mencurigakan di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai sebesar Rp 189 triliun, kata dia juga dikesampingkan saat pemaparan itu. Padahal, itu menjadi bagian penting dalam temuan transaksi mencurigakan yang totalnya senilai Rp 349 triliun.

"Lalu ditunjukkan, lalu ini apa? lalu dijelaskan bu Sri Mulyani yang sebenarnya bea cukai diambil satu pajaknya yang lain dikeluarkan, sama seperti pegawai kemenkeu dia nulis Rp 3,3 triliun, padahal kami tulis Rp 35 triliun. Yang diambil dipisah rangkaiannya oh yang ini pegawai keuangan aja, padahal ini satu rangkaian main pencucian uang ini, satu rangkaian dipisah karena ini orang luar katanya," ujar Mahfud.

"Ini berita acara, bukan hanya surat, ditandatangani semua ini. Bahwa kasus penyelundupan emas itu yang pelanggaran bea cukai itu 2017 ditutup, sehingga kami kirim lagi surat itu. Lalu bilang enggak ada di depan Wamenkeu. Loh ini ada baru dicari ketemu itu yang dipakai dasar menjelaskan oleh bu menkeu," lanjutnya.

Dia menegaskan bahwa temuan ini tidak pernah ditindaklanjuti sama sekali. Namun, sebagaimana yang disampaikan Sri Mulyani dua hari lalu bahwa temuan PPATK ini sudah semua ditindaklanjuti, menurut Mahfud menjadi bukti bahwa Sri Mulyani diberikan informasi yang keliru oleh bawahannya.

"Enggak ada sejak 2017 bahkan masih diterangkan bu menkeu 2 hari lalu katanya selesai kita cek ke sana tidak ada tindakan terhadap bea cukainya, hanya pajaknya, ini tindakan bea cukai begitu banyak, lalu kok harta mu banyak, pajak mu sedikit, lalu dihitung pajaknya suruh tambah pajak aja," papar Mahfud.

Foto: Infografis/ Transaksi Gelap 300 T Kemenkeu/ Edward Ricardo
Bikin Geger! Ini Kronologi Kasus Transaksi Rp349 T Kemenkeu

2. Akses Sri Mulyani Ditutup

Mahfud, dalam kesempatan ini, juga mencurigai ada pihak yang dengan sengaja menutupi akses Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati terhadap data yang disampaikan Kepala PPATK Ivan Yustiavandana.

Maka dari itu, dalam beberapa kali pernyataan kepada publik ada ketidaksepahaman yang muncul.

"Dari keterangan bu Sri Mulyani tadi saya ingin menjelaskan fakta dan datanya bisa ambil di sini. Bahwa ada kekeliruan pemahaman bu Sri Mulyani karena ditutupnya akses dari bawah sehingga apa yang dijelaskan dari tadi data diterima tanggal 14 ketika bertemu dengan pak Ivan," kata Mahfud.

Dia mencontohkan, dalam sebuah pertemuan bersama Kemenkeu dan PPATK, Sri Mulyani ditanyakan soal uang Rp 189 triliun. Sri Mulyani mengaku tidak mengetahui adanya data tersebut, berdasarkan laporan pejabat eselon I Kemenkeu.

"Itu pejabat tingginya eselon I (bilang) gak ada, gak pernah ada. Pak Ivan bilang ada. Baru ada oh itu nanti dicari," jelas Mahfud.

Padahal menurut Mahfud itu adalah data penting, bahwa ada dugaan tindak pidana pencucian uang dengan 15 entitas di bidang Bea Cukai. Surat yang disampaikan sebanyak 300 surat tidak diterima langsung oleh Sri Mulyani. "Jadi ada akses yang ditutup untuk Bu Sri Mulyani," tegasnya.

3. Mahfud Seret Nama Heru Pambudi, Sumiyati Dkk

Dalam sidang dengan Komisi III, Mahfud menunjukkan bukti berita acara penyerahan informasi transaksi janggal yang diduga tindak pidana pencucian uang (TPPU) itu.

Dia mengungkap nama-nama pihak yang menyerahkan dan menerima laporan transaksi janggal. Nama-nama itu dari PPATK dan Kementerian Keuangan.

Dari pihak yang terlibat serah terima itu dan termuat dalam berita acara adalah Kiagus Ahmad Badaruddin selaku Kepala PPATK periode 2016-2020. Lalu ada Dian Ediana Rae yang saat itu merupakan wakil ketua PPATK periode 2016-2020.

Kemudian, ada Heru Pambudi, yang saat itu merupakan Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Sumiyati selaku Inspektur Jenderal Kementerian Keuangan sejak 2017 hingga 2021, serta ada dua nama lain yang masing-masing dari Itjen Kemenkeu dan Ditjen Bea dan Cukai.

"Ini tidak bisa diserahkan dengan surat karena sensitif. Oleh sebab itu diserahkan by hand. Bertanggal 13 November 2017. Ini yang serahkan Ketuanya Pak Badaruddin, Pak Dian Ediana, kemudian Heru Pambudi dari Dirjen Bea Cukai, lalu Sumiyati irjennya," tutur Mahfud.

Laporan kasus transaksi janggal itu sebetulnya sudah terendus sejak 2013, menurutnya. Namun karena tak kunjung ditindaklanjuti, PPATK menyurati lagi pada 2020. Namun demikian, begitu kasus itu tak juga ditindaklanjuti hingga akhirnya dia ungkap ke publik senilai Rp 349 triliun dengan periode rekapitulasi 2009-2023.

"Ini ada tanda tangan semua nih. Bahwa 2013 kasus ini masuk tapi 2020 belum selesai, kita kirimi surat baru, ketika surat baru ini tanya kita ketemu sama Kemenkeu, di situ bilang ada Bu Sri Mulyani, lalu irjen bilang surat itu tidak ada, saya ralat, bukan Sri Mulyani, waktu itu adanya Wamenkeu, Irjen dan ini, itu bilang surat ini tidak ada," ujar Mahfud.

Hingga ditunjukkan adanya berita acara serah terima dan data-data transaksi janggal saat pertemuan Mahfud dengan jajaran Kementerian Keuangan di Kantor Menko Polhukam pada 10 Maret 2023, dia mengatakan pihak terkait dari jajaran Sri Mulyani yang ada di situ menegaskan tak tahu adanya laporan itu.

4. Ada Pengaruh Jokowi

Mahfud MD mengungkapkan alasannya baru mau membongkar dugaan kasus transaksi mencurigakan di Kementerian Keuangan senilai Rp 349 triliun.

Mahfud bercerita, ini bermula dari pertemuannya dengan Presiden Joko Widodo pada Februari 2023, setelah penyelenggaraan acara Satu Abad Nahdlatul Ulama di Sidoarjo, Jawa Timur.

"Sebulan lalu, ketika ada acara 1 abad NU di Sidoarjo saya diajak pulang bersama oleh presiden 1 pesawat dari Surabaya karena apa? membahas indeks persepsi korupsi," tutur Mahfud di Komisi III DPR, Jakarta, dikutip Kamis (30/3/2023).

Mahfud menceritakan bahwa saat perjalanan pulang dari situ, Presiden Joko Widodo mengungkapkan kemarahannya karena Indeks Persepsi Korupsi (IPK) Indonesia turun, dari 2021 skornya berada di 38 menjadi 34 pada 2022.

Dia menjelaskan kepada Presiden Jokowi telah mengundang berbagai lembaga untuk menguak penyebab penurunan itu, di antaranya yang disebutkan secara gamblang dari Transparansi Internasional Indonesia dan Litbang Kompas.

Dari data beberapa lembaga itu, terungkap bahwa turunnya indeks persepsi korupsi itu disebabkan sentimen negatif terhadap bidang pelayanan publik, terutama akibat korupsi di Direktorat Jenderal Bea dan Cukai serta Direktorat Jenderal Pajak.

"Terutama korupsi di bea cukai dan perpajakan, clear itu penjelasannya, yang kedua facilitating payment dalam pelayanan publik di berbagai tempat itu orang sekarang bayar mau naik pangkat bayar ke siapa, kalau enggak punya channel itu enggak bisa," kata Mahfud.

Oleh sebab itu, ketika terjadi kasus pemukulan anak dari eks pejabat eselon 3 di Direktorat Jenderal Pajak Kementerian Keuangan, Rafael Alun Trisambodo, terungkap ke publik dan dikuliti harta kekayaannya yang sangat jumbo dan di luar profil, ia mengaku mulai tertarik mengusut lebih dalam.

"Itulah sebabnya sejak saat itu saya ini pajak dan bea cukai jadi masalah sehingga kalau saya kok punya latar belakang begitu ada kasus Alun (RAT)," tuturnya.

5. Usulan Pansus

Rapat Komisi III DPR memunculkan usulan pembentukan Pansus ini buntut polemik dugaan TPPU Rp 349 triliun di Kemenkeu. Usulan berasal dari Komisi III DPR Fraksi PAN Mulfachri Harahap. Dia berharap dengan adanya pansus masalah transaksi mencurigakan ini bisa terbuka jelas.

"Saya kira ini harus dibuat terang benderang. Kenapa begitu, karena kita tahu bahwa kementerian keuangan adalah hulu dari sistem pengelolaan keuangan negara," kata Mulfachri dalam rapat tersebut.

Dia mencontohkan pembentukan pansus Bank Century yang berhasil memberikan kejelasan mengenai kasus tersebut.

Namun, Ketua Komisi III DPR Bambang Wuryanto menolak pansus tersebut. Dia berpandangan kasus ini bisa diungkap oleh Komite TPPU yang diketuai oleh Mahfud MD dan wakilnya Airlangga Hartarto, serta sekretaris Kepala PPATK dan anggota komite Sri Mulyani.

"Pak Menkopolhukam inilah yang mesti lakukan audit, mengkonsolidasi. Jadi bambang enggak setuju pansus," tegasnya
 


(haa/haa)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ngeri! Transaksi Judol-Korupsi Tembus 17 Juta Kasus