Internasional
IMF Ungkap Negara 'Korban Baru' Krisis, Situasinya Bahaya

Jakarta, CNBC Indonesia - Dana Moneter Internasional (IMF) menyatakan bahwa situasi ekonomi di Lebanon dalam kondisi yang berbahaya. Hal ini terjadi setahun setelah pihak berwenang di negara itu berkomitmen pada program reformasi yang gagal mereka terapkan.
IMF meminta lembaga keuangan di Lebanon untuk menghentikan pinjaman dari bank sentral. Ini merupakan salah satu syarat terbaru agar Beirut dapat menerima bailout US$ 3 miliar (Rp 45 triliun) demi menyelamatkan ekonomi negara itu.
"Orang akan berharap lebih dalam hal implementasi dan persetujuan undang-undang yang berkaitan dengan reformasi ekonomi," kata kepala misi IMF untuk Lebanon, Ernesto Rigo, dikutip Arab News, Jumat (24/3/2023).
Anggota misi IMF telah menghabiskan hampir satu bulan di Lebanon. Disana, mereka bertemu dengan banyak pejabat dan diplomat Lebanon dalam upaya membujuk mereka untuk meningkatkan upaya memperkenalkan reformasi yang telah mereka janjikan.
"Kami mengharapkan lebih banyak dalam hal mengadopsi dan menerapkan undang-undang yang ditujukan untuk mereformasi sistem keuangan Lebanon," papar Rigo. "Draf akhir Undang-undang Pengendalian Modal tidak memenuhi tujuan dan perlu diubah."
Lebanon menandatangani perjanjian dengan IMF hampir setahun yang lalu tetapi belum memenuhi persyaratan yang diperlukan untuk mengamankan program bantuan keuangan dari lembaga itu.
Perekonomian Lebanon sejauh ini telah lumpuh oleh jatuhnya mata uang negara yang telah kehilangan sekitar 98% nilainya terhadap dollar AS semenjak 2019.
Ini pun menyulitkan negara itu untuk melakukan impor bahan bakar, pangan, dan obat-obatan. Padahal, harga komoditas itu telah naik sejak perang Rusia-Ukraina, dan persoalan pangan masih terus membelit semenjak ledakan besar di Pelabuhan Beirut pada 2020 lalu yang menghancurkan tempat penampungan biji-bijan.
Alhasil, kondisi ini memicu inflasi tiga digit dan juga melonjaknya kemiskinan. Tak hanya itu, warga pun mulai dilaporkan kesulitan untuk mengambil dananya di bank karena tak ada deposit yang cukup.
Negara berpenduduk 7 juta orang itu sendiri disebut-sebut salah manajemen. Padahal ini bukan krisis pertama, karena Lebanon pernah mengalami krisis serupa akibat perang saudara dari 1975 hingga 1990.
Perdana Menteri Caretaker Lebanon, Najib Mikati, telah bertemu dengan Ketua parlemen Lebanon, Nabih Berri, pada Kamis pekan lalu. Mereka menekankan perlunya tindakan darurat yang cepat untuk menyelamatkan negara.
"Pemerintah tidak dapat memainkan perannya di tengah kekosongan presiden dan parlemen yang disfungsional," kata Mikati.
Sementara itu, situasi yang memanas mulai timbul di masyarakat. Pada hari Rabu, warga turun ke jalan untuk memprotes terus memburuknya kondisi keuangan dan kehidupan mereka.
Pensiunan tentara, yang melakukan demonstrasi minggu ini karena uang pensiun mereka tidak lagi cukup untuk hidup, mengatakan mereka akan melanjutkan protes mereka pada hari Senin jika permintaan bantuan mereka tidak dipenuhi.
Selain itu, pada hari Kamis, karyawan perusahaan telekomunikasi milik negara Ogero memutuskan untuk mogok. Ini menimbulkan kekhawatiran bahwa layanan komunikasi dan internet dapat dilumpuhkan di negara tersebut.
[Gambas:Video CNBC]
Negara Ini Bangkrut, Warganya Belanja Pakai Kripto
(sef/sef)