Dua Dekade Usai Diserang AS, Irak Jadi 'Kuburan' Terbesar
Jakarta, CNBC Indonesia - Setelah air matanya terkuras di peringatan setahun peristiwa 9/11, Presiden Amerika Serikat George W. Bush (2001-2009) bergegas menyiapkan setelan jas terbaiknya dan bertolak menuju New York untuk menghadiri sidang Majelis Umum PBB.
Lawatan Bush ke markas PBB berkaitan dengan agenda, yang menurut klaimnya, upaya penyelamatan dunia. Dia membawa sebendel laporan intelijen berjudul "A Decade of Lies and Deceit" yang menguliti rahasia Irak di bawah kepemimpinan Saddam Hussein.
Dengan nada tinggi dan semangat menggebu-gebu, Bush berupaya meyakinkan seluruh negara untuk percaya kalau Irak memiliki senjata pemusnah massal. Dan karenanya dunia harus bergerak dan Irak harus dihukum.
Setelah turun dari mimbar, dua minggu kemudian Perdana Menteri Inggris Tony Blair (1997-2007) bergantian naik panggung. Topik pidatonya sama seperti Bush: Irak punya senjata pemusnah massal. Bahkan klaim Blair lebih dari itu. Konon intelijen Inggris sudah menemukan gudang senjata kimia dan biologi yang dapat menghancurkan dunia dalam kurun 45 menit.
Sejak itulah Washington dan London bersatu untuk menyusun propaganda, mengumpulkan bukti-bukti, mencari sekutu, dan merancang serangan besar ke Irak.
Pada 17 Maret 2003, Bush melakukan pidato tersangarnya sepanjang jadi presiden. Dia meminta Saddam turun dari jabatan presiden. Jika itu tidak terjadi, maka AS akan berperang dan mencari senjata pemusnah massal.
Hingga akhirnya, pada 20 Maret 2003, tepat hari ini 20 tahun lalu, Saddam yang tak menyerah membuat AS dan Inggris yang sukses mengajak Australia dan Polandia melancarkan serangan pertama ke Irak. Tercatat 160.000 tentara koalisi diterjunkan khusus di hari pertama dalam operasi resmi bernama "Operation Iraqi Freedom" ini.
Sesuai namanya operasi militer tersebut berdalih untuk membebaskan rakyat Irak, serta melucuti senjata pemusnah massal dan mengakhiri dukungan Saddam Hussein untuk terorisme.
Seluruh tujuan itu terkesan mulia, tetapi pada akhirnya seluruh dunia tahu bahwa tujuan itu hanya omong kosong semata.
'Ladang Pembantaian'
Menurut John S. Duffield dalam Oil and the Decision to Invade Iraq (2012), keberadaan senjata pemusnah massal hanya akal-akalan AS untuk menjatuhkan kekuasaan Saddam dan menguasai sumber daya alam Irak, khususnya minyak bumi.
Pasalnya, laporan intelijen itu hanya klaim sepihak dan konyol. Padahal pada 1994 AS pernah memberikan validasi bahwa di Irak sudah tidak ada lagi keberadaan senjata berbahaya.
Namun, berdasarkan klaim sepihak itu, AS tidak lebih dulu mendengarkan ucapan elite Baghdad dan langsung tancap gas begitu saja. Saddam yang tak ingin tunduk ke Bush jelas mengobarkan api perlawanan.
Alhasil, terjadilah pertempuran selama 2 bulan yang sejak awal sudah diketahui siapa pemenangnya itu. Tepat pada 1 Mei 2003, koalisi gabungan resmi menghentikan pertempuran. Meski hanya kurang dari 6 bulan, efek pertempuran lebih dari itu.
Perang tidak hanya melibatkan tentara antara dua kubu. Masyarakat sipil jelas menjadi korban terparah. Data dari Brown University menyebut ada 270.000 warga Irak tak berdosa tewas dan jutaan lain terluka.
Hampir seluruh fasilitas dan infrastruktur Irak hancur. Jutaan orang kehilangan keluarga dan tempat tinggal. Pusat-pusat peradaban Islam di Irak pun hancur.
Kehancuran Irak terjadi juga pada diri Saddam. Pada 13 Desember 2003, dia akhirnya ditangkap oleh pasukan AS. Tuduhan pelanggaran HAM dan kejahatan perang pun menyertainya. Hingga pada 30 Desember 2006, dia tewas di tiang gantungan.
Sejak itulah Irak memasuki transisi yang dikendalikan oleh Paman Sam. Mengutip New York Times, Bush mengeluarkan US$ 60 milliar untuk memantik ekonomi Irak setelah Saddam digulingkan.
Lewat dana itu ekonomi Irak memang tumbuh. Pada 2004 GDP-nya berada di kisaran US$ 36-40 miliar. Bahkan pada 2014 mencapai tertinggi sepanjang sejarah, yakni US$ 234 miliar.
Namun, seluruh angka statistik itu hanyalah fana. Target utama Bush memang sudah dihabisi dan Irak pun sudah jadi boneka AS, tetapi di akar rumput situasi semakin tidak terkendali. Tidak ada gunanya GDP besar jika situasi kacau.
Mengutip NPR, militer Irak sejumlah 400.000 yang dibubarkan AS membuat mereka saling adu kekuatan. Berbagai kelompok militan bermunculan dan saling bertempur, sehingga menimbulkan perang saudara.
Dari sini juga lahirlah ISIS, penanda kebangkitan baru terorisme global yang menjadikan negara Barat sebagai target utamanya.
Seluruh kekacauan itu membuat warga Irak telah menyaksikan dan terbiasa dengan situasi kekerasan tanpa henti dan serangan teror mematikan. Ledakan bom terus terjadi hampir setiap hari. Kota-kota penting seperti Baghdad dan Tikrit terus bergejolak. Pasukan AS pun terus merangsek masuk dengan dalih mengendalikan situasi.
Akibatnya. kondisi makin tidak karuan. Demokratisasi dan mimpi perdamaian tidak terwujud. Irak telah jadi kuburan. Pada titik inilah masyarakat sipil makin sengsara.
Di saat tensi di Irak meningkat, diketahui kalau ucapan Bush di PBB pada 2003 adalah hoaks semata. Mengutip Washington Post, kesimpulan dari keberadaan senjata pemusnah massal di Irak adalah tidak ada. Fakta ini dikuatkan oleh berbagai investigasi, salah satunya dari pemerintah AS sendiri, yakni National Intelligence Estimate (NIE)
(mfa/mfa)