11 Perusahaan Batu Bara RI Wajib Lakukan Hilirisasi

Jakarta, CNBC Indonesia - Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) menegaskan perusahaan batu bara di Indonesia yang telah mendapatkan perpanjangan kontrak penambangan batu bara menjadi Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) harus melaksanakan kewajibannya untuk merealisasikan proyek hilirisasi batu bara.
Plh Direktur Jenderal Mineral dan Batu Bara Kementerian ESDM Idris Sihite mengungkapkan bahwa sudah ada 11 perusahaan tambang batu bara yang mendapatkan perpanjangan kontrak tambang menjadi IUPK.
Oleh karena itu, dia pun menekankan agar ke-11 perusahaan tersebut segera menjalani hilirisasi batu bara di Indonesia. Hal itu menurutnya sudah dicantumkan sebagai syarat saat perusahaan ingin mendapatkan perpanjangan operasional menjadi IUPK.
"11 perusahaan wajib melakukan hilirisasi. Pokoknya perusahaan batu bara (yang sudah dapat IUPK) wajib hilirisasi. Karena perpanjangannya itu mempersyaratkan itu juga, ada skemanya ada di tahun 2026, ada 2029 gitu kan, itu konteksnya," ungkap Idris saat ditemui di Gedung Kementerian ESDM, Kamis (16/3/2023).
Seperti diketahui, beberapa perusahaan batu bara yang telah mendapatkan perpanjangan operasional menjadi IUPK, antara lain adalah PT Kaltim Prima Coal (KPC), PT Arutmin Indonesia, PT Adaro Indonesia, PT Kideco Jaya Agung, dan beberapa perusahaan batu bara lainnya.
PT KPC dan PT Arutmin Indonesia merupakan anak usaha dari PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Adaro Indonesia merupakan anak usaha dari PT Adaro Energy Indonesia Tbk (ADRO), dan PT Kideco Jaya Agung merupakan anak usaha dari PT Indika Energy (INDY).
Proyek hilirisasi batu bara di Indonesia masih belum memiliki kemajuan. Bahkan, salah satu investor asal Amerika Serikat (AS) yakni Air Products and Chemicals Inc baru saja memutuskan untuk mundur dari dua proyek hilirisasi batu bara di Indonesia.
Pertama, Air Products mundur dari proyek gasifikasi batu bara menjadi Dimethyl Ether (DME) di Tanjung Enim, Sumatera Selatan, bersama dengan PT Bukit Asam Tbk (PTBA) dan PT Pertamina (Persero).
Kedua, Air Products juga mundur dari proyek hilirisasi batu bara menjadi metanol bersama dengan perusahaan Group Bakrie di Kecamatan Bengalon, Kutai Timur, Kalimantan Timur. Air Products membentuk konsorsium bersama PT Bakrie Capital Indonesia Group dan PT Ithaca Resources bernama PT Air Products East Kalimantan (PT APEK). Adapun sumber batu bara untuk proyek ini berasal dari Bakrie Group, yakni PT Kaltim Prima Coal (KPC) dan PT Arutmin Indonesia.
Kedua proyek ini masuk ke dalam Proyek Strategis Nasional (PSN) karena digadang-gadang mampu menggantikan LPG, sehingga bisa menekan impor LPG yang semakin melonjak.
Namun dengan mundurnya Air Products dari proyek hilirisasi batu bara di Indonesia, Idris menilai perusahaan yang sudah mendapatkan perpanjangan kontrak tambang harus mencari alternatif lain untuk tetap bisa melakukan hilirisasi batu bara di Indonesia.
Dia juga mengatakan, selain Air Products, banyak perusahaan lain yang juga bisa mengembangkan hilirisasi batu bara menjadi DME. Hanya saja, sejauh ini wawasan Indonesia belum terlalu luas.
"Tidak hanya Air Products yang bisa DME, kita juga ada beberapa yang mampu. China mampu," imbuhnya.
Idris menyatakan sudah ada perusahaan asal China yang melakukan presentasi untuk melanjutkan proyek DME ini, khususnya proyek DME bersama dengan PT Kaltim Prima Coal.
Perusahaan tersebut bernama Sedin Engineering Company Ltd, atau perusahaan China yang bergerak di sektor konstruksi dan petrokimia.
"Presentasi dengan beberapa perusahaan (bukan hanya KPC). Ini bukan kita yang mengundang ya, mereka paparan dalam perusahaan itu yang saya tau, silahkan saja mereka B to B," tandasnya.
[Gambas:Video CNBC]
Air Products Mundur dari Proyek DME RI, ESDM Ungkap Alasannya
(wia)