Waspada, 3 'Senjata' Putin Lawan AS Cs Ini Bisa Hantam RI
Jakarta, CNBC Indonesia - Ketegangan politik dunia masih terus memanas. Ini disebabkan oleh perseteruan negara-negara Barat pimpinan Amerika Serikat (AS) dan Rusia sebagai buntut dari serangan Moskow ke Ukraina.
Barat telah berupaya menjatuhkan ribuan sanksi ekonomi bagi Rusia. Ini semata-mata untuk membuat Moskow kekurangan pendanaan untuk membiayai perangnya dengan rezim Kyiv.
Namun, Moskow juga melemparkan balasan ekonomi. Negara pimpinan Presiden Vladimir Putin itu bahkan telah menerapkan larangan ekspor beberapa komoditas andalannya ke pasar Barat.
Meski diarahkan hanya kepada negara Barat, nyatanya langkah larangan ekspor Rusia ini juga akan berdampak bagi inflasi dan industri global, termasuk Indonesia. Berikut beberapa 'senjata' ekonomi Putin yang dapat berdampak ke RI seperti dirangkum CNBC Indonesia, Senin (13/3/2023).
1. Minyak
Perang Rusia-Ukraina telah menaikan harga minyak global. Ini dikarenakan langkah Barat menerapkan embargo dan pembatasan pada komoditas bahan bakar itu yang berasal dari Rusia.
Putin pun membalas dengan menandatangani dekrit yang berisi larangan penjualan minyak mentah dan produk minyak Rusia ke negara-negara yang menjadi "musuh Rusia". Keputusan tersebut berlaku mulai 1 Februari dan berlaku selama lima bulan, sebagaimana dilansir Reuters.
Manuver ini pun telah mengerek harga minyak dunia. Ini disebabkan peran Rusia yang merupakan eksportir minyak terbesar ke dua di dunia setelah Arab Saudi, sehingga menyebabkan kelangkaan di pasar global.
Di bulan-bulan awal perang, harga minyak pun melambung hingga mencapai US$ 120 dollar per barrel. Ini juga telah menyebabkan kenaikan harga bensin di Indonesia.
2. Logam
Selain minyak, dalam analisa terbaru dari Citigroup akhir pekan ini, Rusia juga disebut akan menggunakan ekspor logam penting seperti aluminium dan paladium sebagai senjatanya melawan Barat. Hal ini akan terjadi berdasarkan asumsi bahwa Moskow akan melarang ekspor komoditas itu ke Barat.
Pembatasan seperti itu akan mengganggu operasi produsen di seluruh dunia, bahkan Indonesia. Hal ini juga dapat mendorong inflasi, yang saat ini sebenarnya sudah tinggi.
Selain aluminium, output palladium Rusia, yang digunakan dalam perangkat yang membatasi emisi dari mobil, juga memiliki peranan global yang besar dengan menyumbang sekitar seperempat dari pasokan seluruh dunia.
3. Pangan
Rusia dan Ukraina merupakan pemain penting dalam ekspor produk pangan berbasis biji-bijian seperti gandum dan jagung di dunia. Perang antara keduanya pun sempat mengerek harga pangan global.
Di awal perang, ekspor bahan pangan biji-bijian dari pelabuhan Rusia dan Ukraina di Laut Hitam terdampak. Banyak kapal pengangkut yang tidak dapat bersandar dan memuat komoditas pangan itu sehingga menyebabkan kelangkaan pangan di berbagai belahan dunia.
Di negara-negara Arab misalnya, mereka mencatatkan rekor inflasi pangan yang tinggi akibat bergantungnya wilayah tersebut dari gandum asal Ukraina dan Rusia. Di Indonesia, dilaporkan juga terjadi kenaikan harga bahan pangan berbasis gandum.
Namun, pada pertengahan 2022, Moskow dan Kyiv sepakat membuka kembali pelabuhan di Laut Hitam untuk keperluan ekspor pangan. Kesepakatan ini dimediasi oleh Turki dan Perserikatan Bangsa-bangsa serta kembali diperpanjang pada Desember 2022 lalu.
Meski begitu, saat perpanjangan Desember lalu, Moskow sebelumnya sempat menolak akibat serangan Ukraina yang menghantam armada Laut Hitamnya. Perjanjian kemudian diperpanjang hingga 18 Maret 2023 ini.
(sef/sef)