Setahun Perang Gak Kelar-Kelar, Pasokan Energi RI Terancam?

Firda Dwi Muliawati, CNBC Indonesia
Senin, 27/02/2023 10:40 WIB
Foto: Wilayah Kerja (WK) Pangkah yang dioperasikan oleh Saka Indonesia Pangkah Limited (SIPL) selaku Anak Perusahaan PGN Saka, afiliasi dari PGN Subholding Gas Pertamina, (Dok. SKK Migas)

Jakarta, CNBC Indonesia - Pemerintah dalam hal ini Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) buka suara perihal ketahanan energi di dalam negeri di tengah perang Rusia dan Ukraina yang belum juga tuntas dan sudah menginjakkan usia satu tahun.

Sebagaimana diketahui, Indonesia sebagai net importir minyak dan gas bumi (migas) turut terkena dampak meskipun dampak tersebut tidak secara langsung.

Direktur Jenderal Minyak dan Gas Bumi (Dirjen Migas) Kementerian ESDM, Tutuka Ariadji mengatakan bahwa pihaknya sadar konflik kedua negara tersebut masih akan terus berlangsung. Dia mengatakan pemerintah perlu menyiapkan strategi dalam pemenuhan energi nasional baik dalam jangka waktu pendek sampai dengan jangka panjang.


"Kami berpandangan krisis ini tidak akan segera berakhir karena melebarnya konflik yang terjadi. Pemerintah perlu menyiapkan strategi tidak hanya jangka pendek tapi juga menengah dan panjang. Kami menyadari keperluan jangka menengah ini selain jangka pendek, terutama kita menyadari potensi akan sumber daya fosil energi di Indonesia," ungkap Tutuka kepada CNBC Indonesia dalam program 'Energy Corner', Senin (27/2/2023).

Tutuka menambahkan, dalam menjaga ketahanan energi nasional, pihaknya menemukan potensi gas bumi yang besar berada di beberapa wilayah Indonesia termasuk Sumatera, Bali, Lombok, Selat Makassar, Maluku, dan Papua.

"Kita akhir-akhir ini banyak identifikasi potensi-potensi sumber daya gas baik Utara Sumatera ada beberapa blok, Bali, Lombok, kemudian Selat Makasar, kemudian Maluku sekitar Papua, dan di Papua. Dengan potensi sumber daya tersebut, kami berupaya keras sumber daya gas ini sebagai strategi jangka menengah sekaligus akan menyelesaikan masalah tadi," ujarnya.

Selain itu, Tutuka juga beberkan bahwa Indonesia mengandalkan negara Arab Saudi dan Nigeria sebagai negara tujuan impor terbesar untuk minyak mentah. Sedangkan, untuk BBM berasal dari negara Singapura dan Malaysia. Kemudian, LPG berasal dari Amerika Selatan dan Arab Saudi.

"Jadi kurang lebih seperti itu, sehingga kita sampai saat ini juga bergerak hati-hati karena kita nggak berdampak langsung, tapi efek domino dari konflik ini," tegasnya.

Sebelumnya, Sekretaris Jenderal Dewan Energi Nasional (Sekjen DEN), Djoko Siswanto menyebutkan Indonesia termasuk dalam kategori yang cukup tahan di Index 6,61, meskipun belum masuk kategori sangat tahan atau indeks 8-10.

"Kita aman! Dunia boleh krisis, energi kita dikaruniai tuhan cukup banyak. Ekspor batu bara kita ekspor 75%. Gas juga alhamdulillah bisa ekspor, selain gas listrik kita alhamdulillah pakai EBT," ungkap Djoko dalam Energy & Mining Outlook 2023 CNBC Indonesia, Kamis (23/2/2023).

Dia juga mengatakan, Indonesia harus berhati-hati pada ancaman krisis energi, situasi geopolitik, dan tahun politik. Kondisi yang terjadi saat ini menurutnya harus diantisipasi untuk menghindari terjadinya kelangkaan energi di Indonesia.

Djoko mengungkapkan, Presiden Joko Widodo pun sering mengingatkan, agar berhati-hati pada krisis global dunia. Apalagi di Indonesia juga tengah mempersiapkan diri menyambut lebaran dan tahun politik 2024 sehingga rentan terjadi kelangkaan energi.

"Mohon internal Pertamina dan PLN, manajemen sudah dalam mengambil keputusan dan budgeting pendelegasian harus diutamakan porsinya. Sekarang masih lambat karena persetujuan harus pusat," tambahnya.

Jika eksportir energi seperti LPG dan BBM, menghentikan pasokannya ke Indonesia, maka krisis energi bisa terjadi di Indonesia. Potensi ini bisa terjadi seiring dengan ketegangan geopolitik, terutama negara-negara penghasil energi.

"Jika negara-negara yang ekspor BBM dan LPG menghentikan (ekspornya) karena perang, maka kita akan collapse," ujarnya.

Apalagi saat ini harga komoditas dunia tengah meningkat, dan berpengaruh pada pasokan energi. Djoko menyebutkan mahalnya harga energi pernah membuat subsidi energi menembus Rp 512 triliun. "Ke depan perang masih terjadi dan harga meningkat kita tidak punya pilihan," pungkas Djoko.

Untuk itu, diperlukan energi alternatif ataupun hilirisasi sebagai upaya substitusi energi. "Makanya kalau ada program DME, kompor listrik, kendaraan listrik, itu bisa didorong segera," tegasnya.


(pgr/pgr)
Saksikan video di bawah ini:

Video: Ketegangan Iran-Israel Meningkat, Apa Dampaknya ke RI?